REVIEW JURNAL INTERNASIONAL " PEMIKIRAN POSTMODERNISME DAN PANDANGANNYA TERHADAP ILMU PENGETAHUAN "

REVIEW JURNAL INTERNASIONAL FILSAFAT ILMU

Disusun untuk memenuhi tugas mata
Kuliah Filsafat Ilmu yang di bina oleh
Ibu Dr. Sally Marisa Sihombing, S.IP.,M.Si
Oleh :
Rahul Manufan Pandra (203010702011)

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK PROGRAM STUDI ILMU ADMINISTRASI NEGARA TAHUN 2020

Jurnal Internasional
Judul : PEMIKIRAN POSTMODERNISME DAN
PANDANGANNYA TERHADAP ILMU PENGETAHUAN
Halaman : 45 Halaman
Tahun Terbit : 2018

Review Jurnal
Review Jurnal Internasional
PEMIKIRAN POSTMODERNISME DAN
PANDANGANNYA TERHADAP ILMU PENGETAHUAN

PENDAHULUAN
Perkembangan pemikiran dari waktu ke waktu terus mengalami perubahan dalam berbagai hal, tentunya hal itu tidak lepas dari  keinginan manusia yang selalu menginginkan sebuah perubahan  karena bertambahnya persoalan dan juga kebutuhan. Kalau kita  kembali pada masa terdahulu tentunya tidak mengherankan lagi  terhadap sebuah perkembangan dalam berbagai ranah kehidupan,  
terlebih lagi dalam soal keilmuan. Kehidupan terus berputar dan berkembang seiring dengan semakin bertambahnya manusia sehingga  melahirkan pemikiran dan terus berupaya untuk mengembangkan kehidupannya dalam berbagai hal.  
Demikian juga dalam hal ilmu pengetahuan tentunya selalu
mengalami perkembangan dari tahun ketahun ataupun dari abad- keabad. Karena sifat dari manusia yang memang selalu tidak merasa puas terlebih dalam hal keilmuan. Akibat dari hasil pemikiran yang  telah ada, mereka akan berfikir untuk dapat mengembangkan bahkan  melakukan sebuah pengujian ulang terhadap hasil penemuan yang telah lalu. Misalkan dalam bidang filsafat kita mengenal yang namanya  Anaximander (610-546 SM) yang mengatakan bahwa substansi asal itu bukan air. Berbeda dengan filosof sebelumnya Thales (624-545 SM)  mengatakan bahwa zat pertama dan utama terbentuknya sesuatu itu adalaha air (Maksum, 2012: 44-45). Dan seterusnya mengalami  
perubahan dan perkembangan tentunya dalam rangka untuk menuju pada suatu yang lebih sempurna seiring dengan perkembangan dan kemajuan pemikiran manusia.

PENGERTIAN POSTMODERNISME
Jean-Francois Lyotard adalah orang yang memperkenalkan
postmodernisme dalam bidang filsafat dan ilmu pengetahuan di tahun 1970-an dalam bukunya yang berjudul “The Postmodern Condition: A  Report on Knowledge”. Dia mengartikan postmodernisme sebagai segala kritik atas pengetahuan universal, atas tradisi metafisik,
fondasionalisme maupun atas modernisme (Maksum, 2014: 305-306). Menurut beberapa para ahli yang lainnya, seperti Louis Leahy,  postmodernisme adalah suatu pergerakan ide yang menggantikan ide- ide zaman modern (Leahy, 1985: 271). Menurut Emanuel, postmodernisme adalah keseluruhan usaha yang bermaksud merevisi  
kembali paradigma modern (Emanuel, 2006: 93). Sedangkan menurut Ghazali dan Effendi, postmodernisme mengoreksi modernisme yang  tidak terkendali yang telah muncul sebelumnya (Ghazali & Effendi,  2009: 161). 
Maka dapat disimpulkan bahwa postmodernisme merupakan
suatu ide baru yang menolak atau pun yang termasuk dari
pengembangan suatu ide yang telah ada tentang teori pemikiran masa sebelumnya yaitu paham modernisme yang mencoba untuk  memberikan kritikan-kritikan terhadap modernisme yang dianggap  telah gagal dan bertanggung jawab terhadap kehancuran martabat manusia; ia merupakan pergeseran ilmu pengetahuan dari ide-ide modern menuju pada suatu ide yang baru yang dibawa oleh postmodernisme itu sendiri. 

LAHIRNYA POSTMODERNISME
Munculnya postmodernisme tidak dapat dilepaskan dari
modernisme itu sendiri. Kata modernisme mengandung makna serba maju, gemerlap, dan progresif. Modernisme selalu menjanjikan pada kita untuk membawa pada perubahan ke dunia yang lebih mapan di mana semua kebutuhan akan dapat terpenuhi. Rasionalitas akan membantu kita menghadapi mitos-mitos dan keyakinan-keyakinan tradisional yang tak berdasar, yang membuat manusia tak berdaya dalam menghadapi dunia ini (Maksum, 2014: 309). 
Namun demikian, modernisme memiliki sisi gelap yang
menyebabkan kehidupan manusia kehilangan diorientasi. Apa yang dikatakan oleh Max Horkheimer, Ardono, dan Herbert Marcuse bahwa pencerahan tersebut melahirkan sebuah penindasan dan dominasi disamping juga melahirkan kemajuan.

TOKOH-TOKOH POSTMODERNISME
Ada beberapa tokoh yang bisa disebut mewakili era
Postmodernisme. Pertama, Jean-Francois Lyotard, merupakan salah satu filsuf postmodernisme yang paling terkenal sekaligus paling penting di antara filsuf-filsuf postmodernisme yang lainnya. Dua karya yang menjadikannya terkenal baik di Perancis maupun diluar negeri  yaitu The Postmodernisme Condition dan The Differend. Karyanya itu juga baik sesuatu ataupun seseorang yang ditolak bersuara terhadap sistem  
ideologis yang dominan yang menentukan sesuatu yang dapat
diterima dan tidak dapat diterima (Zaprulkhan, 2006: 320). Pemikiran Lyotard tentang ilmu pengetahuan dari pandangan modernisme yang sebagai narasi besar seperti kebebasan, kemajuan, dan sebagainya kini menurutnya mengalami permasalahan yang sama seperti abad pertengahan yang memunculkan istilah religi, nasional  
kebangsaan, dan kepercayaan terhadap keunggulan negara eropa untuk saat ini tidak dapat dipercaya atau kurang tepat kebenarannya. Maka, postmodernisme menganggap sesuatu ilmu tidak harus langsung diterima kebenarannya harus diselidiki dan dibuktikan terlebih dahulu. Bagi Lyotard, ilmu pengetahuan postmodernisme bukanlah semata-mata menjadi alat penguasa, ilmu pengetahuan  postmodern memperluas kepekaan kita terhadap pandangan yang berbeda dan memperkuat kemampuan kita untuk bertoleransi atas  
pendirian yang tak mau dibandingkan (Maksum, 2014: 319-321).

CIRI-CIRI PEMIKIRAN POSTMODERNISME
Amin Abdullah dalam bukunya berjudul Falsafah Kalam di Era
Postmodernisme menyatakan bahwa ciri-ciri pemikiran
postmodernisme adalah dekonstruktif. Hampir semua bangunan atau konstruksi dasar keilmuan yang telah mapan dalam era modern, baik  dalam bidang sosiologi, psikologi, antropologi, sejarah, bahkan juga  ilmu-ilmu kealaman yang selama ini baku ternyata dipertanyakan ulang oleh postmodernisme. Hal ini terjadi karena teori tersebut  
dianggap menutup munculnya teori-teori lain yang barangkali jauh lebih dapat membantu memahami realitas dan pemecahan masalah.Jadi klaim adanya teori-teori yang baku, standar, yang tidak dapat diganggu gugat, itulah yang ditentang oleh pemikir postmodernisme. 
Standar yang dilihatnya kaku dan terlalu skematis sehingga tidak cocok untuk melihat realitas yang jauh lebih rumit. Maka menurutnya harus diubah, diperbaiki, dan disempurnakan oleh para pemikir postmodernisme. Dalam istilah Amin Abdullah dikenal dengan deconstructionism yakni upaya mempertanyakan ulang teori-teori yang  
sudah mapan yang telah dibangun oleh pola pikir modernisme, untuk kemudian dicari dan disusun teori yang lebih tepat dalam memahami kenyataan masyarakat saat ini, meliputi keberagaman, dan juga realitas alam (Abdullah, 2004: 96). 
       Ciri postmodernisme yang lain adalah berwatak relativisme, artinya pemikiran postmodernisme dalam hal realitas budaya (nilai-nilai, kepercayaan, dan lainnya) tergambar dalam teori-teori yang  dikembangkan oleh disiplin ilmu antropologi. Dalam pandangan  antropologi, tidak ada budaya yang sama dan sebangun antara satu dengan yang lain. Seperti budaya Amerika jelas berbeda dengan  
Indonesia. Maka nilai-nilai budaya jelas sangat beraneka ragam sesuai dengan latar belakang sejarah, geografis, dan sebagainya.

TEORI-TEORI SOSIAL POSTMODERNISME
Beberapa teori sosial postmodernisme antara lain, pertama, Teori Sosial Postmodern Moderat. Teori ini yang menyatakan bahwa ada  keterputusan antara modernisme dengan postmodernsme. Namun  ada yang mengatakan bahwa kendati postmodernisme memiliki  perbedaan penting dengan modernisme, namun ada semacam  persambungan antara keduanya (Ritzer & Goodman, 2012: 671)

KELEBIHAN DAN KELEMAHAN POSTMODERNISME
Kelebihan postmodernisme antara lain bahwa perspektif
postmodernisme dapat membuat kita peka terhadap kemungkinan bahwa wacana besar positif, prinsip-prinsip etika positif, dapat diputar dan dipakai untuk menindas manusia. Martabat manusia harus  dijunjung tinggi, seperti kebebasan adalah nilai tinggi, tetapi bisa saja  
terjadi bahwa nama kebebasan sekelompok orang mau ditiadakan. Postmodernisme ikut membuat kita sadar, sebuah kesadaran bahwa semua cerita besar perlu dicurigai, perlu diwaspadai agar tidak  menjelma rezim totalitarianisme yang hanya mau mendengarkan suara diri sendiri dan mengharuskan suara-suara yang berbeda dari luar (Zaprulkhan, 2006: 323-324). Menurut Franz Dahler,  
postmodernisme memiliki segi positif, yaitu keterbukaan untuk kebhinekaan masyarakat, untuk toleransi, perlawanan terhadap monopoli, dominan agama, aliran dan ideologi tertentu, hingga menguntungkan demokrasi (Jalaluddin, 2013: 67). 
      Zaprulkhan menyatakan bahwa setidaknya ada kelemahan yang ada pada postmodernisme, yang penulis rangkum menjadi tiga poin utama, yaitu, pertama, postmodernisme yang sangat semangat mempromosikan narasi-narasi kecil, ternyata buta terhadap kenyataan  
bahwa banyak juga narasi kecil yang mengandung banyak kebusukan. Katakanlah kaum komunitarian yang membela tradisi-tradisi komunitas dikemukakan bahwa banyak tradisi komunitas bertentangan tidak hanya dengan suatu ide abstrak martabat manusia
postmodernisme akan menolak argumen itu, melainkan terhadap
institusi-institusi moral mendalam manusia. Kedua, postmodernisme
tidak membedakan antara ideologi, di satu pihak dan prinsip-prinsip
universal etika terbuka, di pihak lain. Dengan istilah-istilah kabur
seperti cerita besar mereka menutup perbedaan yang prinsipil itu.
Yang mempermudah adalah pendekatan ideologis dan bukan nilai-
nilai dan prinsip-prinsip dasar moralitas yang terbuka. Dalam arti
ideologi tertutup, memang bertentangan dengan martabat manusia
sebagai makluk yang bertindak berdasarkan kesadaran akan baik dan
buruk, yang sanggup untuk bertanggung jawab, karena ideologi selalu
menuntut ketaatan mutlak. Dan yang ketiga Postmodernisme
menuntut untuk menyingkirkan cerita-cerita besar demi cerita kecil
atau lokal. Dengan kata lain tuntutan postmodernisme kontradiktif,
memaklumkan kepada umat manusia bahwa maklumat-maklumat
kepada umat manusia (cerita besar) harus ditolak sama artinya dengan
memaklumatkan bahwa maklumat itu sendiri tidak perlu dihiraukan
(Zaprulkhan, 2006: 322-323).

KRITIK TERHADAP POSTMODERNISME
Habermas dalam bukunya, The Philosophical of Modernity,
mengkritik postmodernisme menyatakan bahwa asal-usul konsep post- modernity itu sendiri harus diteliti. Habermas menyatakan ada  kelemahan mendasar pemikiran kaum postmodernis tentang modernitas yang dianggap ahistoris. Para pemikir postmodernisme  seakan-akan menghilangkan dimensi dan cakrawala historis yang  memunculkan postmodern itu. Ali Maksum menyatakan bahwa kritik atas postmodernisme  antara lain: a) Pemikir postmodernisme kurang tegas apakah mereka  menciptakan teori atau mengarang sastra; b) Habermas merasa  argumen para postmodernis sarat dengan sentimen normatif, namun  
sentimen mereka itu disembunyikan dari pembaca, Habermas mengemukakan sentimen normatifnya (kebebasan,keterbukaan, komunikasi) yang dijadikan sumber kritiknya terhadap masyarakat serta menjadi basis bagi praktis politiknya; c) Habermas mengkritik postmodernisme sebagai perspektif yang gagal membedakan
fenomena dan praktik yang terjadi pada masyarakat modern. contohnya tentang pandangan dunia yang didominasi oleh kekuasaan  dan pengawasan tidak memberikan peluang yang cukup baik untuk  melakukan analisis yang bermakna atas sumber nyata penindasan  dalam kehidupan modern; d) Pemikir postmodernisme dituduh  mengabaikan praktik kehidupan dunia. Kekeliruan ini merupakan  kerugian ganda bagi pemikir postmodernisme. Di satu sisi, mereka sumber penting perkembangan standar normatif. Sedangkan disisi  
lain, mereka menjadikan kehidupan dunia sebagai tujuan akhir karya ilmu sosial (Maksum, 2014: 340, 345-346).

Komentar