REVIEW JURNAL NASIONAL FILSAFAT ILMU "HUBUNGAN WAHYU DAN AKAL DALAM TRADISI FILSAFAT ISLAM"

REVIEW JURNAL FILSAFAT ILMU

Disusun untuk memenuhi tugas mata
Kuliah Filsafat Ilmu yang di bina oleh
Ibu Dr. Sally Marisa Sihombing, S.IP.,M.Si
Oleh :
Rahul Manufan Pandra (203010702011)

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK PROGRAM STUDI ILMU ADMINISTRASI NEGARA TAHUN 2020

Jurnal Nasional
Judul : HUBUNGAN WAHYU DAN AKAL DALAM TRADISI FILSAFAT ISLAM
Penulis : Mukhtasar Syamsuddin
Halaman : 1-22 Halaman
Tahun Terbit : -

Review Jurnal
Sebagaimana epistemologi Islam mengartikulasikan al-Quran sebagai sumber inspirasi bagi akal dalam menemukan kebenaran, dan bahwa akal memiliki kedudukan penting baginya,dengan sendirinya al-Quran sebagai wahyu tidak dapat dipungkiri. Persoalannya kemudianadalah landasan filosofis apakah yang dapat dikemukakan untuk menerangkan arti pentingkedudukan akal itu? Untuk menjawab persoalan ini, perlu dilihat bahwa pemikiran filsafat Islamtelah melewati lima tahap perkembangan, yaitu; pertama, tahap diterimanya al-Quran oleh umatIslam sebagai satu-satunya jalan spiritual dan pedoman kehidupan, kedua, tahap yang ditandaidengan bangkitnya pemikiran-pemikiran yurispridensi dan teologi Islam yang secara khususmenunjuk pada munculnya empat mazhab/aliran besar, yaitu Hanafi, Syafi’i, Hanbali, dan Maliki yang kemudian diikuti oleh aliran-aliran kecil seperti Sunni dan Syiah, ketiga, adalahkelanjutan atau bahkan imitasi dari tahap kedua di atas yang memunculkan pemikiran modeltradisionalis dan konvensionalis di kalangan kaum Muslim, dan keempat, tahap yang ditandaidengan penolakan atas otoritas doktiner kaum yurisprudensial (fuqaha) dan sufisme, dan kelima,tahap pemikiran kontemporer yang ditandai oleh berkembangnya gerakan revivalismekeagamaan dan meluasnya ketertarikan pada ilmu dan teknologi.Paraja (1990: 75) mengungkapkan epistemologi Ibn Taimiyyah yang memuat pandangannya tentang hubungan akal dan wahyu. Menurut Ibn Taimiyyah, akal dan wahyu itutidak saling bertentangan satu sama lain. Pendapat akal yang lurus akan selalu sesuai denganwahyu yang benar. Akal bukanlah dasar untuk menentukan kebenaran wahyu karena wahyu telah pasti benar dengan sendirinya, baik wahyu itu diketahui oleh akal atau tidak. Wahyu tidak
 
memerlukan pembenaran akal. Wahyu menyempurnakan akal. Akal dan wahyu mungkin bisa bertentangan, tetapi pendapat akal yang jelas akan sesuai dengan wahyu yang benar. Wahyuselamanya tidak dapat dipisahkan dari akal.Dalam konteks kesesuaian wahyu dan akal itulah, model pemikiran Ibn Taimiyyah relevan untuk disandingkan dengannya. Prinsip “kesesuaian” Ibn Ta
imiyyah yang berarti tanpa pertentangan tercemin dari judul kitabnya yang menggunakan perkataan muwafaqat dan dar’ta’arud. Meskipun implikasi makna perkataan ini hampir sama dengan perkataan “ittishal” dalam pandangan Ibn Rusyd, tapi prinsip-prinsip yang digunakan berbeda, terutama dalam memahami makna akal (’aql ) dan dalam menjabarkan wahyu (al-naql, al-sam’i).

Komentar