REVIEW BUKU "FILSAFAT ISLAM DARI KLASIK HINGGA KONTEMPORER"

"FILSAFAT ISLAM DARI KLASIK HINGGA KONTEMPORER"
REVIEW BUKU FILSAFAT
Disusun untuk memenuhi tugas mata
Kuliah Filsafat Ilmu yang dibina oleh
Ibu Dr. Sally Marisa Sihombing, S.IP.,M.Si
Oleh :
Rahul Manufan Pandra (203010702011)

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK PROGRAM STUDI ILMU ADMINISTRASI NEGARA TAHUN 2020

A. INDENTITAS
Judul Buku: Filsafat Islam Dari Klasik Hingga Kontemporer
Penulis : Dr. H. A. Khudori Soleh M.Ag
Penerbit : AR-RUZZ MEDIA
Cetakan : 2016
Jumlah Halaman : 308

B. PENDAHULUAN
Buku yang ditulis oleh Khoduri Soleh merupakan buku yang menciptakan gagasan tentang pentingnya Mempelajari Filsafat Islam. Hal yang sangat diingat penulis saat menulis buku ini adalah apa yang disampaikan oleh Benar sebagaimana kritik Amin Abdullah, Guru Besar Filsafat Islam UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta, bahwa kajian-kajian filsafat Islam yang ada sampai saat ini, di PTAIN atau PTAIS, bahkan di tingkat Pascasarjana sekalipun, masih lebih banyak berkutat pada masalah sejarah dan metafi sika.1. Kenyataannya, 
silabi dan buku-buku daras Filsafat Islam di Perguruan Tinggi tidak banyak yang keluar dari dua kajian pokok tersebut. Bahasannya pun berkisar masalah sejarah perkembangan fi lsafat, aliran-aliran filsafat, dan pemikiran metafsika masing-masing tokoh. Akibatnya, kajian filsafat Islam menjadi tidak mengalami kemajuan yang berarti, apalagi memberikan kontribusi yang signifi kan bagi perkembangan pemikiran Islam. Padahal, kajian fi lsafat sesungguhnya bukan sekadar sejarah dan metafi sika, melainkan juga epistemologi, etika, dan estetika; epistemologi adalah kajian tentang metodologi dan logika penalaran sehingga filsafat berarti kajian tentang cara berpikir, yaitu berpikir kritis-analisis dan sistematis. Artinya, fi lsafat lebih merupakan kajian tentang proses berpikir dan  bukan sekadar kajian tentang sejarah dan produk pemikiran.

Berdasarkan alasan itulah, maka kajian buku ini tidak hanya menyajikan sejarah dan metafi sika, tetapi juga epistemologi, etika, dan estetika. Dalam kajian  metafi sika, konsep-konsep metodologi atau pemikiran epistemologi masing￾masing tokoh tetap disampaikan. Subbagian epistemologinya sendiri menjelaskan  tiga model epistemologi yang dikenal dalam Islam: bayânî, irfânî, dan burhânî. Ketiga model tersebut, dalam sejarahnya, telah menunjukkan keberhasilannya  masing-masing. Nalar bayânî telah membesarkan disiplin fiqh (yurisprudensi)  dan teologi (‘ilm al-kalâm), irfânî telah menghasilkan teori-teori besar dalam sufi sme di samping kelebihannya dalam wilayah praktis kehidupan, dan burhânî 
telah mengantarkan fi lsafat Islam dalam puncak pencapaiannya.

Mengingat pesan yang disampaikan oleh Amin Abdullah tersebut, maka penting bagi penulis untuk menyampaikan siapa sebenarnya khalayak yang ingin disapa dengan buku. Dengan bukunya yang berjudul Filsafat Islam Dari Klasik Hingga Kontemporer ini sengaja penulis suguhkan kepada para mahasiswanya yang baru menginjak semester satu dan dua. Sebagai perkenalan penulis dengan mereka yang baru saja meninggalkan bangku SMU yang biasanya belum berkenalan dengan filsafat.

C. RINGKASAN BAB
Penulis Khoduri Soleh memilih islam sebagai perspektif dalam menyampaikan gagasan-gagasan yang berkenan dengan filsafat ini. Hal ini adalah penting untuk menghilangkan anggapan bahwa filsafat tidak ada dalam islam.

Menurut Khoduri Soleh hal ini penting dilapangan terutama utuk mereka yang baru lulus dari SMU ataupun baru mengenal filsafat, maka penulis mencoba untuk menyampaikan hal-hal pokok dalam kajian filsafat dengan cara yang sederhana dan yang bisanya menjadi pokok persoalan dikalangan mereka.

Kelima bab/bagian yang di tulis oleh Khoduri Soleh adalah sebagai berikut :
Bagian I : Perspektif Kultural Historis 
Bagian II : Metafisika
Bagian III : Epistemologi
Bagian IV : Etika
Bagian V : Estetika

Adapun uraian singkat dari masing-masing bab, akan disajikan sebagai berikut

Bab I: Dalam bab ini Khoduri Soleh membahas tentang I . SUMBER-SUMBER PEMIKIRAN  
RASIONAL-FILOSOFIS DALAM ISLAM perspektif kultural historis, hal yang menarik dari bab ini adalah Pertama, belajar atau berguru tidak berarti hanya meniru atau 
membebek semata. Harus dipahami bahwa suatu ide dapat dibahas oleh banyak 
orang dan akan tampil dalam berbagai macam fenomena. Seseorang berhak mengambil sebagian gagasan orang lain, tetapi itu semua tidak menghalanginya untuk menampilkan teori atau fi lsafatnya sendiri. Aristoteles, misalnya, jelas merupakan murid Plato (427–348 SM), tetapi ia mempunyai pandangan sendiri yang tidak dikatakan gurunya. 
Kedua, ide, gagasan, atau pemikiran, seperti dinyatakan Karl A. Steenbrink , adalah ekspresi dan hasil dari proses komunikasi sang tokoh dengan kondisi  sosial lingkungannya.4 Artinya, sebuah ide, gagasan, atau pengetahuan tidak bisa lepas dari akar sosial, tradisi, dan keberadaan seseorang yang melahirkan ide atau pemikiran tersebut. Pemikiran filsafat Yunani dan Islam lahir dari keyakinan,  
budaya, dan kondisi sosial yang berbeda.

Berdasarkan hal tersebut, maka apa yang disebut sebagai transmisi filsafat
Yunani ke Arab Islam berarti adalah suatu proses panjang dan kompleks yang
justru sering banyak dipengaruhi oleh keyakinan dan teologis para pelakunya,
kondisi budaya yang melingkupi, dan seterusnya; termasuk dalam hal istilah￾istilah teknis yang digunakan tidak akan lepas dari konteks dan problem bahasa Arab dan ajaran Islam. 
Berdasarkan uraian di atas, dapat disampaikan kesimpulan sebagai berikut.
Pertama, pemikiran rasional-fi losofi s Islam tidak merupakan jiplakan atau
plagiasi dari fi lsafat Yunani sebagaimana yang dituduhkan sebagian kalangan,
meski diakui bahwa fi lsafat Yunani telah memberikan kontribusi sangat besar
bagi perkembangan pemikiran fi lsafat Islam sesudahnya. Sebab, kenyataan yang
ada menunjukkan bahwa pemikiran rasional dalam hukum (fi qh) dan teologi
Islam Muktazilah telah lebih dahulu mapan sebelum datangnya fi lsafat Yunani
lewat terjemahan. Pemikiran rasional Islam inilah bahkan yang telah berjasa
memberikan ruang bagi diterimanya fi lsafat Yunani.
Kedua, sistem pemikiran rasional Islam tersebut lahir atau muncul dari
analisis dan perkembangan bahasa Arab (nahw), lewat berbagai mazhab bahasa
yang ada. Berawal dari analisis dan rasionalisasi bahasa ini kemudian berkembang
menjadi rasionalisasi dalam bidang hukum (fi qh) dan teologi, karena adanya
kebutuhan untuk menjelaskan secara rasional-fi losofi s atas makna dan maksud
teks suci dan menjawab problem-problem yang muncul saat itu secara rasional.
Ketiga, pemikiran dan fi lsafat Yunani masuk ke dalam khazanah pemikiran
Islam pertama kali pada masa khalifah Al-Makmun (811–833 M) dari dinasti
Bani Abbas (750–1258 M), lewat proyek terjemahan. Proses terjemahan atas
pemikiran rasional fi lsafat Yunani ini sendiri dilakukan karena telah berkembang
dan mapannya tradisi berpikir rasional fi losofi s di kalangan masyarakat Islam, terutama fi qh dan teologi Muktazilah, di samping untuk mencari tambahan referensi atau amunisi dalam menghadapi pemikiran-pemikiran heterodoks yang  juga mulai berkembang saat itu.
II . PERGUMULAN FILSAFAT  
DENGAN ILMU KEAGAMAAN

Dalam bagian akhir ini, ada beberapa hal yang perlu disampaikan. Pertama,
pemikiran fi lsafat Islam sesungguhnya tetap dan terus berkembang sampai
masa modern, bahkan kontemporer ini. Hanya saja, ada perubahan bentuk dan orientasi fi lsafat setelah masa Ibn Rusyd (1126–1198 M). Yaitu, pemikiran
fi lsafat yang awalnya berkembang secara mandiri dan bersifat rasional, kemudian
bersinergi dengan tasawuf, sehingga melahirkan tasawuf falsafi : sebuah pemikiran
yang menggabungkan antara pemikiran rasional dan intuisi. Selain itu, pemikiran
rasional-intuitif ini lebih banyak berkembang di kalangan sarjana Syiah, bukan
Sunni, sehingga apa yang dimaksud bahwa fi lsafat Islam telah mati pasca-Ibn
Rusyd, sesungguhnya, hanya terjadi dalam masyarakat Sunni, bukan masyarakat
Islam secara keseluruhan.
Kedua, perkembangan fi lsafat (Sunni), jika dihitung sejak masa Al-Kindi
(806–875 M), tepatnya penulisan buku ‘Filsafat Pertama’ (al-Falsafah al-Ûla)
yang dipersembahkan untuk khalifah Al-Mu`tashim (833–842 M) dan berakhir
pada masa Ibn Rusyd (1126–1198 M), pemikiran fi lsafat Islam berarti hanya
hidup selama sekitar 350 tahun; suatu masa yang tidak sebentar. Bahkan, jika
dibanding dengan perjalanan Islam sendiri yang dimulai sejak turunnya wahyu
pertama masa Rasul (611 M) sampai sekarang (2011) yang berarti telah berjalan
selama 1400 tahun, fi lsafat Islam berarti telah memberi kontribusi selama
seperempat kehidupan Islam sendiri, suatu masa waktu yang jelas tidak sedikit.
Ketiga, grafi k perkembangan pemikiran fi lsafat dalam Islam ternyata tidak
senantiasa naik dan mulus, tetapi juga mengalami pasang surut; pertama-tama
disambut dengan baik karena diperlukan untuk memenuhi kebutuhan dan
menghadapi pemikiran-pemikiran ‘aneh’, tapi kemudian dicurigai karena ternyata
tidak jarang justru digunakan untuk menyerang ajaran agama Islam sendiri yang
dianggap telah baku, khususnya pada masa Ibn Hanbal. Setelah itu, fi lsafat
dikembangkan oleh Al-Farabi dan Ibn Sina , kemudian jatuh lagi karena serangan
Al-Ghazali; bangkit lagi pada masa Ibn Rusyd tapi akhirnya tidak terdengar
suaranya, sampai sekarang, kecuali dalam mazhab Syi`ah.
Keempat, kecurigaan dan penentangan yang dilakukan oleh sebagian tokoh
Muslim terhadap fi lsafat, seperti yang dilakukan Ibn Hanbal, bukan semata-
mata disebabkan bahwa ia berasal dari luar Islam, tetapi lebih didasarkan atas
kenyataan bahwa saat itu gerakan fi lsafat dinilai mengandung dampak yang
berbahaya bagi aqidah masyarakat. Misalnya, pemikiran Ibn Rawandi (827–911
M) dan Al-Razi (865–925 M) yang sampai menolak kenabian karena mengikuti
fi lsafat, atau perilaku oknum tertentu yang meremehkan ajaran agama dengan
berdasarkan atas nama fi lsafat pada masa Al-Ghazali. Akan tetapi, yang harus
juga dicatat adalah bahwa hal itu bukan berarti menunjukkan bahwa seluruh fi losof dan ajaran fi lsafat adalah salah. Adalah suatu keputusan yang tidak arif
dan tidak tepat jika kita menjatuhkan putusan hanya karena adanya beberapa
kasus yang tidak signifi kan dan melupakan jasa-jasanya yang besar.
Kelima, serangan Al-Ghazali terhadap fi lsafat sesungguhnya lebih ditujukan
pada aspek metafi sikanya dan bukan pada logika atau epistemologinya, sesuatu
yang menjadi inti pemikiran filsafat. Sebab, Al-Ghazali sendiri mengakui
pentingnya logika dan menggunakannya untuk membumikan gagasan-
gagasannya. Artinya, dalam analogi fi qh, Al-Ghazali hanya mengkritik fi qhnya
dan bukan ushûl al-fi qh-nya, menolak produk dan bukan alat atau metodenya.
Berdasarkan hal itu, berarti tidak ada alasan bagi kita untuk menolak fi lsafat
sebagai sebuah epistemologi atau metode berpikir meski kita bisa tidak sepakat
pada bagian metafi sika atau hasil pemikirannya.
Keenam, perselisihan antara kaum fi lsafat dan Al-Ghazali tampak juga
disebabkan oleh adanya perbedaan dalam memahami makna dari sebuah istilah
yang digunakan. Sebagaimana dikatakan Al-Hamadani ,44 setiap kelompok
atau aliran pemikiran, seperti teologi, fi lsafat, tasawuf, fi qh, dan seterusnya
mempunyai istilah-istilah teknis tersendiri, di mana istilah-istilah yang digunakan
tersebut bisa jadi sama tetapi mempunyai makna yang berbeda sesuai dengan
yang dimaksud oleh si pembicara. Karena itu, seseorang dari golongan tertentu
tidak bisa langsung mengklaim atau memberikan makna tentang sebuah istilah
sebelum meminta penjelasan secara baik kepada si empunya istilah. Menjatuhkan
keputusan terhadap pembicara sebelum meminta penjelasan tentang apa yang
dimaksudkan berarti sama dengan menembak dalam kegelapan, suatu tindakan
yang sangat tidak bijak. Ketegangan antara fi lsafat dan ilmu keagamaan, termasuk
juga ketegangan antara tasawuf dan fi qh, mazhab fi qh yang satu dengan yang lain,
dan seterusnya, rupanya disulut oleh persoalan ini, tidak adanya sikap tabayun
terlebih dahulu sebelum diambil keputusan. Serangan Al-Ghazali terhadap fi losof
karena istilah “qadim” pada alam adalah bukti nyata akan hal itu.
Ketujuh, para tokoh fi lsafat Islam, mulai Al-Kindi sampai Ibn Rusyd,
dengan caranya masing-masing sesungguhnya telah dan selalu berusaha untuk
menyelaraskan antara wahyu dan rasio, antara agama dan filsafat, bukan
memisahkannya sebagaimana yang sering dituduhkan. Karena itu, dugaan, asumsi, atau bahkan tuduhan bahwa fi lsafat (Islam) telah mengabaikan atau
bahkan meninggalkan ajaran wahyu, kiranya patut dikaji ulang.
III . REKONSTRUKSI TEOLOGI ISLAM  (ILM AL-KALAM) 
Pemikiran Hassan Hanafi
Teologi Islam (`ilm al-kalâm) yang dianut oleh mayoritas masyarakat Muslim
saat ini, menurut Hassan Hanafi , mengandung kelemahan mendasar, yaitu
bahwa ia tidak bisa dibuktikan secara ilmiah maupun filosofis. Apa yang
dimaksud tidak dapat dibuktikan secara fi losofi s adalah bahwa metode teologi
dinilai tidak mampu mengantarkan kepada keyakinan atau pengetahuan
yang menyakinkan tentang Tuhan dan wujud-wujud spiritual lainnya, tetapi
baru pada tahap mendekati keyakinan.1
 Adapun yang dimaksud tidak dapat
dibuktikan secara ilmiah adalah bahwa teologi lebih berisi ide-ide kosong dan
melangit, bukan ide-ide konkret yang mampu membangkitkan dan menuntun
umat dalam mengarungi kehidupan nyata sehingga teologi menjadi asing dari
dirinya sendiri dan dari masyarakat.2
 Kenyataannya, doktrin-doktrin teologi yang
bersifat dialektik lebih diarahkan untuk mempertahankan ajaran dan memelihara
kemurniannya yang bersifat teosentris, bukan untuk mendiskusikan masalah-
masalah yang berkaitan dengan watak sosial dan sejarah kemanusiaan yang
antroposentris. Selain itu, rumusan-rumusan teologi juga sering disusun sebagai
persembahan kepada para penguasa, yang dianggap sebagai wakil Tuhan di bumi, sehingga ia cenderung menjadi alat legitimasi bagi status quo dan bukan sebagai
wahana pembebas dan penggerak manusia ke arah kemandirian dan kesadaran.3
Karena itu, secara praktis, teologi menjadi tidak bisa menjadi pandangan
hidup yang benar-benar mampu memberi motivasi tindakan dalam kehidupan
konkret manusia. Penyusunan rumusan teologi yang tidak didasarkan atas
kesadaran murni dan nilai-nilai perbuatan manusia, akhirnya juga melahirkan
kepribadian ganda (split personality) antara keimanan teoretik dan keimanan
praktis dalam umat Islam, yang pada gilirannya melahirkan sikap-sikap moral
ganda atau sinkretisme kepribadian. Menurut Hanafi , fenomena sinkretis ini tampak jelas dengan adanya paham keagamaan dan sekularisme (dalam aspek  kebudayaan), paham tradisional dan modern (dalam peradaban), paham Timur dan Barat (dalam politik), paham konservatisme dan progresivisme (dalam sosial), dan paham kapitalisme dan sosialisme (dalam ekonomi)
Berdasar uraian di atas, dapat disampaikan bahwa rekonstruksi teologi yang
dilakukan Hassan Hanafi adalah mengubah term atau pemahaman teologi yang
awalnya bersifat teosentris, berbicara tentang Tuhan dan melangit, diubah dan
diturunkan menjadi teologi yang mendiskusikan tentang persoalan manusia,
antroposentris, dan membumi.
Berkaitan dengan gagasan rekonstruksi teologi tersebut, ada beberapa hal
yang perlu disampaikan. Pertama, dari sisi metodologis, pemikiran Hassan Hanafi
tampak memiliki kesamaan–jika tidak dikatakan dipengaruhi oleh—dengan
pemikiran Marx (1818–1883 M) dan Husserl (1859–1938 M). Pengaruh atau kesamaan tersebut tampak ketika Hanafi meletakkan persoalan Arab (Islam)
dalam konteksnya sendiri, lepas pengaruh Barat. Pernyataannya bahwa kemajuan
Islam tidak bisa dilakukan dengan cara mengadopsi Barat (westernisasi) tetapi
harus didasarkan atas khazanah pemikiran Islam sendiri mirip dengan pemikiran
fenomenologi Husserl.
Adapun kesamaannya dengan Marxisme terlihat ketika Hanafi menempatkan
persoalan sosial praktis sebagai dasar bagi pemikiran teologinya, yaitu bahwa
teologi dimulai dari titik praktis pembebasan rakyat tertindas. Slogan-slogan
yang dipergunakan, antara lain, pembebasan rakyat tertindas dari penindasan
penguasa, persamaan derajat Muslim di hadapan Barat dan sejenisnya adalah
jargon-jargon Marxisme. Kesamaannya dengan metode dialektika Marxis
juga terlihat ketika Hanafi menjelaskan perkembangan pemikiran Islam dan
usaha yang dilakukan ketika merekonstruksi pemikiran teologisnya dengan
menghadapkan teologi dengan fi lsafat Barat untuk kemudian mensintetiskannya.
Bedanya, jika dalam pemikiran Marxis dikatakan bahwa pergerakan dan
pembebasan manusia tertindas tersebut semata-mata didorong oleh kekuatan
materi dan duniawi, dalam Hanafi diberi ruh yang tidak sekadar materialistik.
Ada pranata-pranata yang bersifat religius atau keruhanian yang menggerakkan
sebuah perjuangan Muslim. Juga, jika dalam perjuangan ala Marxis bisa
dengan menghalalkan segala cara, rekonstruksi teologi Hanafi memakai prinsip
kesejahteraan, bahwa perjuangan mesti memerhatikan kebaikan umum, bukan
brutal, hingga pemikiran Hanafi bisa disebut marxisme tetapi tidak marxis,
Barat tetapi tidak sekuler.43 Artinya, di sini ada metode-metode orisinal yang
dikembangkan oleh Hanafi sendiri.
Kedua, dari sisi gagasan. Jika ditelusuri dari kritik dan gagasan para tokoh
sebelumnya, apa yang disampaikan Hanafi dari proyek rekonstruksi teologi
ini sesungguhnya bukan sesuatu yang baru dalam makna yang sebenarnya.
Pernyataannya bahwa zat dan sifat Tuhan adalah deskripsi tentang manusia ideal
telah disampaikan kaum Muktazilah dan kaum sufi , konsepnya tentang tauhid
yang “membumi” juga telah disampaikan Murtadha Muthahhari (1920–1979
M). Kelebihan Hanafi adalah bahwa ia mampu mengemas konsep-konsepnya
tersebut secara lebih utuh, jelas, dan up to date sehingga terasa baru. Di sinilah
orisinalitas pemikiran Hanafi dalam proyek rekonstruksi teologisnya. Ketiga, lepas apakah pemikiran besar Hanafi bisa direalisasikan atau tidak
seperti diragukan Boullata,44 jelas gagasan Hanafi adalah langkah berani dan
maju dalam upaya untuk meningkatkan kualitas umat Islam dalam mengejar
ketertinggalannya di hadapan Barat. Hanya saja, rekonstruksi yang dilakukan
dengan cara mengubah term-term teologi yang bersifat spiritual-religius menjadi
sekadar material-duniawi akan bisa menggiring pada pemahaman agama menjadi
hanya sebagai agenda sosial, praktis, dan fungsional, lepas dari muatan-muatan
spiritual dan transenden.
Selanjutnya, mencemati gagasan Hanafi, ada ada cacatan yang perlu
disampaikan. Pertama, pemikiran Hanafi masih diwarnai aroma romantisme,
meski dalam kadar yang relatif kecil, yakni gagasan rekonstruksi yang berbasis
pada rasionalitas Muktazilah. Keberpihakan Hanafi pada rasionalitas Muktazilah
menyebabkan ia mengabaikan cacat yang ada pada Muktazilah, yaitu bahwa
mereka pernah melakukan intrik politik dan ideologis (mihnah). Kedua, kritik
Hanafi bahwa teologi Asy’ariyah adalah penyebab kemunduran Islam terasa
terlalu menyederhakan masalah di samping tidak didasarkan investigasi historis
yang memadai dan konkret. Kenyataannya, seperti ditulis Shimogaki, Asy’ariyah
telah berjasa dalam menemukan keharmonisan mistik antara ukhrawi dan
duniawi, meski tidak bisa dimungkiri bahwa kebanyakan masyarakat Muslim
yang Asy’ariyah sangat terbelakang dibanding Barat.

Bab II : Pada bab ini Khudori Soleh menjelaskan tentang Metafisika :
I. Al-falsafah al-ûlâ  pemikiran al-kindi(801 873 m) al-falsafah al-ûlâ adalah judul buku fi lsafat yang ditulis dan dipersembahkan al- 
kindi untuk khalifah al-mu`tashim (833–842 m) dari dinasti bani abbas (750–
1258 m); sekaligus juga istilah untuk pemikiran metafi sikanya yang didasarkan
atas konsep-konsep fi lsafat aristoteles (384–322 sm).1
 pemikiran metafi sika
al-kindi, menurut george n. atiyeh , diinspirasikan dari gagasan aristoteles
tentang kebenaran pertama, tidak didasarkan atas ide-ide plotinus (204–270 m)
sebagaimana kebanyakan fi lsuf muslim sesudahnya. kebenaran pertama adalah
penggerak pertama yang merupakan sebab dari semua kebenaran. karena itu,
al-kindi menggambarkan metafi sika sebagai pengetahuan yang paling mulia,
karena subjek kajiannya adalah sesuatu yang paling mulia dari semua realitas.
berdasarkan hal ini, al-kindi kemudian mendefi nisikan metafi sika sebagai
pengetahuan tentang hal-hal yang ilahiah—yang dalam konsep aristoteles
disebut sebagai penggerak yang tidak bergerak. namun, cakupan kajiannya tidak
meliputi segala yang wujud sebagai wujud (being qua being) sebagaimana dalam
pemikiran aristoteles, tetapi terbatas hanya pada masalah tuhan, perbuatan-
perbuatan kreatif-nya, dan hubungan-nya dengan alam ciptaan.2 artinya, al- kindi mengikuti aristoteles tetapi tidak sama dengan gurunya, dan di sinilah  
orisinalitas al-kindi.
Ada beberapa hal patut disampaikan.
1. Bahwa Al-Kindi hidup pada masa fi lsafat belum dikenal secara baik dalam
tradisi pemikiran Islam, tepatnya masa transisi pemikiran teologi pada
fi lsafat. Dalam kondisi ini, Al-Kindi jelas menghadapi banyak kesulitan
dan persoalan, baik internal gagasan maupun eksternal masyarakat, dan
pikirannya banyak dicurahkan untuk mengatasi persoalan-persoalan
tersebut. Namun, hal itu bukan berarti Al-Kindi tidak mempunyai
pemikiran fi lsafatnya sendiri yang orisinal sehingga tidak layak disebut
seorang fi losof, atau bahkan hanya sebagai seorang penerjemah seperti
dituduhkan beberapa pihak. Uraian di atas, meski singkat dan tidak utuh,
menunjukkan bahwa Al-Kindi adalah benar-benar seorang fi losof yang orisinil.
2. Al-Kindi (801–873 M) secara kronologis dapat dianggap sebagai tokoh
pertama yang berusaha menyelaraskan agama dan fi lsafat lewat berbagai
cara, dan upayanya tersebut ternyata kemudian diikuti oleh banyak fi losof
sesudahnya, seperti Al-Farabi (870–950 M), Abu Sulaiman Al-Sijistani
(932–1000 M), Ibn Miskawaih (932–1030 M), Ibn Sina (980–1037 M)
sampai Ibn Rusyd (1126–1198 M), tentu dengan caranya masing-masing
sesuai dengan konteks dan aliran fi lsafat yang dianutnya.
3. Konsep Al-Kindi tentang proses penciptaan semesta yang tercipta dari
tiada (creatio ex nihilo) dengan berdasarkan atas nalar fi lsafat, bukan
teologis sebagaimana dalam tradisi pemikiran Islam, adalah gagasan
orisinal Al-Kindi yang tidak terdapat pada para pemikir Muslim yang
lain. Konsep penciptaan semesta para fi losof Muslim secara umum dapat
dibagi dua. Pertama, bersifat creatio ex nihilo dengan dasar nalar teologis.
Kedua, bersifat creatio ex materia dengan dasar nalar fi lsafat, baik lewat
emanasi seperti Al-Farabi atau gerakan seperti Ibn Rusyd. Al-Kindi
menggabungkan kedua konsep tersebut.
4. Secara umum tampak Al-Kindi berusaha menjelaskan persoalan
keagamaan berdasarkan logika dan perspektif fi lsafat, bukan dengan dasar
wahyu atau naqli, bahkan kebenaran logika dan fi lsafat juga digunakan
untuk membenarkan dan menjustifi kasi informasi wahyu. Di sinilah
kelebihan Al-Kindi. Meski demikian, pemikiran Al-Kindi bukan tanpa
masalah. Persoalan proses bagaimana Tuhan berkarya dan hubungan-Nya
dengan semesta, apakah Tuhan bersifat imanen (tasybîh) atau transendens
(tanzîh) atas semesta, adalah satu persoalan yang ditinggalkan oleh Al-
Kindi. 
II . HIERARKI WUJUD SECARA EMANASI 
Pemikiran Al-Farabi (870-950 M)
Menurut Al-Farabi, kajian metafi sika terdiri atas tiga hal. Pertama, ontologi, yaitu
segala sesuatu yang berkaitan dengan wujud dan sifat-sifatnya sepanjang berupa
wujud-wujud. Kedua, prinsip-prinsip demonstrasi (mabâdi` al-barâhîn) dalam
rangka menetapkan materi subjek ilmu teoretis. Ketiga, wujud non-materi, yaitu
wujud-wujud yang bukan merupakan benda dan tidak dalam benda.1. Wujud yang ketiga ini, antara lain, berupa bilangan-bilangan. Menurut Al-Farabi,  bilangan termasuk wujud non-materi, karena ia hanya ada dalam pikiran sebagai  pengetahuan-pengetahuan dan lepas dari atribut-atribut aksidental serta ikatan- 
ikatan material.
Dari uraian di atas, ada beberapa hal yang disampaikan. Pertama, konsep
metafi sika Al-Farabi tidak hanya menunjuk soal wujud-wujud non-materi,
sesuatu yang gaib atau sesuatu yang melampaui fi sika (mâ warâ’a thabî`ah), seperti
yang ada dalam teologi Islam umumnya, tetapi mencakup juga persoalan psikis,
konsep-konsep yang ada dalam pikiran, bahkan epistemologis.
Kedua, dari sisi ontologis, pemikiran emanasi Al-Farabi tampak selaras dan
konsisten, di mana tiap-tiap bagiannya saling terkait. Dimulai dari yang Esa,
Sebab Pertama, secara hierarkis turun menuju ke sepuluh intelek yang kemudian
melahirkan langit dan bumi yang merupakan wujud empiris dan plural. Artinya,
di sini bisa diselesaikan perbedaan dua kutub yang saling berseberangan sehingga
bisa dijelaskan keterkaitan antara Tuhan yang Esa dan wujud empiris yang plural,
antara yang substantif dan aksiden, antara yang tidak bergerak dan yang berubah,
yang merupakan persoalan pelik fi lsafat saat itu. Namun, harus pula disadari
bahwa dengan konsep emanasi tersebut, Al-Farabi dapat jatuh pada kesimpulan bahwa Tuhan tidak mengetahui sesuatu yang partikular atau teperinci seperti
pernah dituduhkan Al-Ghazali.
Ketiga, konsep Al-Farabi bahwa eksistensi manusia di bumi berada di antara
wujud-wujud materi yang rendah dan wujud-wujud metafi sik yang tinggi, akan
bisa menggiring pada pemahaman bahwa manusia tidak akan bisa mencapai
derajat paling utama di antara makhluk ciptaan. Jika asumsi ini benar, ia bisa
berseberangan dengan konsep lain, khususnya soal kenabian dan konsep manusia
sempurna (insân al-kâmil) yang sering diungkap oleh kaum sufi s, yakni sosok
manusia unggul yang mencapai derajat tertinggi melampaui segala ciptaan
sehingga eksistensi dan tindakannya merupakan ‘bayangan’ Tuhan di bumi.
Keempat, dalam konsep emanasi Al-Farabi yang hanya sampai tingkat
ke-11, mengapa hanya 11? Apakah ini murni hasil renungan filosofisnya
atau karena pengaruh doktrin imâmah dalam teologi Syiah? Richard Netton
menduga Al-Farabi termasuk seorang pemikir dari kalangan Syiah,51 karena
Bani Hamdan (890–1004 M) penguasa Aleppo dan Mosul yang memberi
fasilitas dan mendukung kegiatan ilmiah Al-Farabi adalah pengikut mazhab
Syiah. Juga, pemikiran dan elite politik Syiah, sebenarnya, masih mengontrol
secara efektif jalannya roda pemerintahan pusat di Baghdad sampai menjelang
kematian Al-Farabi.
III . HIERARKI NILAI REALITAS  
Pemikiran Al-Ghazali (1058-1111 M)
Plato (429–347 SM) dan neoplatonik yang idealis menganggap bahwa yang
substantif adalah sesuatu yang ada dalam ide, metafi sik, dan ini bersifat universal.
Sebaliknya, Aristoteles (384–322 SM) menilai bahwa yang esensial adalah
yang objektif, empirik, dan ini partikular.1
 Al-Ghazali menerima kedua prinsip
pemikiran ini sekaligus dan menggabungkannya sebagai satu kesatuan tetapi menolak masing-masingnya sehingga lahir konsep baru, yaitu realitas yang  
empiris sekaligus metafi sik, partikular sekaligus universal. Akan tetapi, kesatuan
realitas tersebut tidak bersifat “satu” dan sama tetapi berbeda dan berjenjang, dan susunan hierarki masing-masing realitas tersebut ditentukan oleh nilai dan  hubungannya dengan yang mahanilai.
Berdasarkan uraian di atas, ada beberapa hal perlu disampaikan. Pertama,
pembagian tentang bentuk dan tingkat kualitas alam oleh Al-Ghazali menjadi dua
bagian, yakni alam atas dan bawah, yang masing-masing termanifestasikan oleh
alam malakût yang bersih dan mulia dan alam dunia yang kasat mata dan rendah, sesungguhnya, bukan ide baru. Para fi lsuf sebelumnya juga telah menyatakan hal
itu, meski dengan format yang berbeda. Namun, yang berbeda dari Al-Ghazali,
tingkatan ini tidak tersusun secara emanasi sebagaimana pemikiran fi lsafat, tetapi
berdasarkan teori imkân yang biasa dikaji dalam teologi, yaitu bahwa alam dicipta
dari sesuatu yang tiada (creatio ex nihilo).
Kedua, pemikiran Al-Ghazali tentang dua kutub realitas, partikular dan
universal, yang keduanya sama-sama merupakan substansi yang mempunyai
bangunan tersendiri tapi saling berkaitan, adalah gagasan yang genius. Dengan
pemikiran ini, doktrin kaum teolog bahwa semesta diciptakan dari sesuatu yang
tiada, creatio ex nihilo, bisa dijelaskan sehingga perbedaan antara doktrin teologi
dan fi lsafat bisa diselesaikan. Namun, gagasan bukan tidak bisa dipersoalkan.
Pada saatnya, konsep Al-Ghazali ini bisa dianggap syirik, ketika dihadapkan pada
konsep kesatuan wujud Ibn Arabi (1165-1240 M).
Ketiga, pembagian eksistensi wujud, (1) aktual yang eksistensinya tidak
hanya ada dalam mental, konsep, dan pikiran, tetapi konkret, nyata dalam
wujud realitas dan (2) wujud potensial yang hanya ada dalam konsep, mental
atau pikiran dan masih dalam posisi imkân, pada gilirannya akan bisa mengarah
pada kesimpulan bahwa aksiden lebih penting dibanding substansi, karena
aksiden itulah yang menentukan eksistensi sesuatu. Ini tidak berbeda dengan
konsep Al-Farabi.
Di sisi lain, dengan konsep wujud potensial-aktual tersebut berarti pula
bahwa segala yang konkret telah ada ‘gambarannya’ dalam pikiran, termasuk
wujud semesta telah ada gambarannya dalam benak Tuhan sebagai wujud
potensial. Al-Ghazali mengakui hal ini dan menamakan dengan nasyiyah al-
azaliyah (kehendak azali). Ini berarti tidak berbeda dengan konsep ‘keqadiman
alam’ dari fi lsafat Al-Farabi bahwa semesta ini telah ada wujudnya dalam pikiran
Tuhan secara azali bersama keazaliaan-Nya.
IV . PENGETAHUAN TENTANG KETERKAITAN WUJUD Pemikiran Ibn Rusyd(1126-1198 M) 
Pemikiran metafi sika Yunani yang diterjemahkan ke dalam bahasa Arab, menurut
Fuad Al-Ahwani,1
 terdiri atas dua jenis: pemikiran tentang wujud dari Aristoteles
(384–322 SM) dan pemikiran tentang Yang Esa dari Plotinus (205-270 M). Al-
Farabi (870–950 M) cenderung pada Plotinus dan menyatukannya dengan ide
Yang Esa dari Al-Quran sehingga menjadi Wujud Utama, Tuhan, lewat metode
emanasi. Ibn Sina (980–1037 M) mengikuti jalan Al-Farabi meski dengan
cara yang sedikit berbeda. Ibn Rusyd (1126–1198 M) yang datang kemudian,
memilih Aristoteles dan membebaskan dirinya dari pengaruh neoplatonis.
Karena itu, sebagai pengikut Aristoteles , Ibn Rusyd memahami metafi sika
sebagai pengetahuan tentang wujud dalam maknanya yang mutlak. Pokok
kajiannya terdiri atas tiga hal. Pertama, sesuatu yang dapat dirasa yang tercakup
dalam 10 kategori Aristoteles. Kedua, prinsip-prinsip substansi dan hubungannya
dengan prinsip pertama yang merupakan Penggerak Pertama. Ketiga, ilmu-ilmu
tertentu untuk membetulkan cara-cara berpikir yang menyesatkan.
2 . Namun, bagi  Ibn Rusyd, di antara ketiganya hanya bagian kedua yang fundamental, sedangkan dua bagian lainnya berkaitan dengannya. Karena itu, ia mendefi nisikan metafisika sebagai ilmu yang mempelajari keterkaitan wujud-wujud yang ada, mengenai 
tatanan hierarkis penggerak mereka sampai pada Penggerak Pertama.
Pada bagian penutup ini, ada beberapa yang patut disampaikan. Pertama,
Ibn Rusyd benar-benar seorang Aristotelian yang taat. Namun, hal itu bukan
berarti Ibn Rusyd tidak mempunyai identitas pemikiran sendiri. Sistem utama
yang dipakai tetap Aristotelian, tetapi ia kemudian memberi bentuk baru pada
sistem tersebut berdasarkan sumber-sumber lain yang diterimanya. Ini antara
lain tampak jelas pada konsepnya tentang substansi. Berbeda dengan Aristoteles ,
substansi bukanlah yang pertama dari 10 kategori, tetapi keseluruhan esensi dan
eksistensi, yang oleh Ibn Rusyd disebut sebagai ‘substansi utama’.
Kedua, gagasan tentang substansi merupakan pijakan utama dari seluruh
pemikiran Ibn Rusyd , baik dalam kaitannya dengan teori pengetahuan
maupun konsepnya tentang kosmologi. Dalam kaitannya dengan pengetahuan,
pengetahuan yang sejati dan valid bukan gagasan yang ada dalam ide, juga bukan
realitas yang tampak oleh indra, melainkan kesesuaian antara konsep yang ada
dalam ide dengan apa yang ada pada realitas empiris. Dalam soal kosmologis,
semesta ini bukan hanya yang aktual tetapi juga meliputi yang potensial. Realitas
semesta adalah keseluruhan yang potensial dan aktual.
Ketiga, bagi Ibn Rusyd , semesta bukan lahir secara emanasi (faidh) tetapi
oleh sebab-sebab penggerak yang semuanya bermuara pada Pengerak Pertama.
Dari Penggerak Pertama menyebabkan gerak berikutnya, begitu seterusya, dan
setiap gerak melahirkan wujud-wujud yang lain, sampai akhirnya memunculkan
wujud bumi. Gerak-gerak tersebut tidak didahului oleh waktu karena waktu
sendiri tunduk pada adanya gerak. Sehingga, semesta yang muncul dari gerak
bisa dianggap sebagai qadim, dalam arti bahwa ia tidak didahului oleh sang
waktu. Akan tetapi, keqadiman semesta ini berbeda dengan keqadiman Tuhan, karena keqadiman semesta hanya dari segi historis sedangkan keqadiman Tuhan
dari segi esensi atau zat-Nya.
Keempat, bersamaan dengan konsepnya tentang gerak yang melahirkan
semesta, ada satu hal yang menjadi persoalan, yakni konsepnya bahwa kebaikan
adalah karya Tuhan sedangkan kejahatan adalah akibat materi. Bagaimana
persoalan ini bisa dijelaskan secara rasional dan diterima nalar, padahal menurut
Ibn Rusyd sendiri, semua wujud semesta, baik yang potensial maupun aktual,
potensi maupun tindakan, materi dan bentuk, semuanya lahir dari sebab
penggerak yang semuanya bermuara pada gerak hasrat-Nya.
V . FILSAFAT ISYRAQI (ILUMINASI) 
Pemikiran Suhrawardi (1153-1191 M)
Pemikiran Isyraqiyah (iluminatif), secara ontologis maupun epistemologis, lahir
sebagai reaksi atau alternatif atas kelemahan-kelemahan yang terjadi pada fi lsafat
sebelumnya, khususnya paripatetik Aristotelian. Menurut Suhrawardi ,1
filsafat paripatetik yang sampai saat itu dianggap paling unggul dan valid ternyata  
mengandung bermacam kekurangan. Pertama, secara epistemologis, ia tidak dapat menggapai seluruh realitas wujud. Ada sesuatu yang tidak bisa dicapai  oleh penalaran rasional bahkan silogisme rasional sendiri pada saat tertentu  tidak bisa menjelaskan atau mendefi nisikan sesuatu yang diketahuinya. Kedua,  
secara ontologis, Suhrawardi tidak bisa menerima konsep paripatetik, antara
lain, dalam soal eksistensi-esensi. Baginya, yang fundamental dari realitas adalah
esensi bukan eksistensi seperti diklaim kaum paripatetik. Esensilah yang primer
sedangkan eksistensi hanya sekunder, hanya merupakan sifat dari esensi dan hanya ada dalam pikiran. 2 . Ini sekaligus membalik konsep Plato (428–347 SM) bahwa eksistensi hanyalah bayangan dari alam ide dalam pikiran.
Dalam perspektif historis, setelah Ibn Rusyd tidak berhasil mempertahankan
logika dan fi lsafat Aristotelian dari serangan Al-Ghazali, usaha Suhrawardi
yang mengompromikan berbagai aliran pemikiran, khususnya nalar diskursif
dengan nalar intuitif, ternyata memberi arah baru bagi perkembangan fi lsafat
Islam. Kenyataannya, metode penggabungan antara fi lsafat dan tasawuf ini
lebih dominan dan diikuti para pemikir Islam sesudahnya, antara lain, seperti
oleh Ibn Arabi (1165–1240 M) dan Mulla Sadra (1573–1641 M). Di sisi
lain, penggabungan dua nalar itu sendiri adalah sesuatu yang menarik untuk
direnungkan. Dengan fi lsafat seseorang bisa berpikir sejauh dan seluas mungkin
tetapi dengan adanya agama dan spiritualitas maka apa yang dipikirkan menjadi
nyata dan menyakinkan, di samping tetap terkendali dan aman. Artinya, kedua
sistem berpikir tersebut dapat saling mendukung dan menguatkan dalam upaya
menumbuhkan kesadaran manusia akan tanggung jawabnya sebagai khalifah di
bumi.
Pemikiran Suhrawardi tentang iluminasi di mana prosesnya terus berjalan
tanpa henti memberikan pemahaman bahwa realitas yang ada sangat luas,
terbentang tanpa batas. Satu-satunya yang membatasi hanyalah kegelapan,
suatu ‘wilayah’ yang tidak atau belum terjangkau oleh cahaya. Ini adalah gagasan
yang berani dan memberi tantangan baru bagi pemikiran manusia. Di sisi lain,
konsepnya bahwa realitas cahaya yang merupakan hakikat wujud adalah satu
meski berbeda-beda tingkat intensitas penampakannya, dapat menggiring pada
paham esensialisme. Dalam bidang teologi, konsep ini bisa diterjemahkan dalam sebuah doktrin bahwa ‘keseluruhan wujud adalah Tuhan meski Tuhan bukanlah
keseluruhan wujud’ sehingga menjadi paham monistik.
Terakhir, konsep tentang kesadaran diri. Ini adalah salah satu gagasan
yang khas Suhrawardi . Suhrawardi, dengan menempatkan ‘aku’ pada posisi
yang sangat menentukan dalam proses pengetahuan, telah memberikan
pedoman baru tentang bagaimana sebuah pengetahuan dan kebenaran yang
sesungguhnya harus dicapai. Ini merupakan bibit dari sebuah pemikiran yang
kemudian dikenal sebagai eksistensialisme. Persoalannya, berkaitan dengan
masalah hubungan antara intuitif dan diskursif, bagaimana Suhrawardi harus
menjelaskan bahwa kebenaran hasil pengalaman intuitif harus diuji dengan
logika Aristotelian (pemikiran diskursif), padahal kekuatan logika dianggap
tidak mampu menggapai hakikat realitas dan kebenaran?
VI . WAHDAH AL-WUJUD  
Pemikiran Ibn Arabi (1165-1240 M)
Wahdah al-wujûd (kesatuan realitas) adalah salah satu gagasan paling kontroversial
dalam metafi sika, khususnya metafi sika tasawuf . Pemikiran ini dicetuskan oleh
Ibn Arabi . Akan tetapi, menurut Kautsar Azhari Noer, 1 . Ibn Arabi sendiri,  
sebenarnya, secara formal tidak pernah menggunakan kata-kata wahdah al-
wujûd dalam tulisan-tulisannya. Orang pertama yang menggunakan istilah
ini, meski tidak sebagai istilah teknis dan independen, adalah Sadr Al-Din
Al-Qunawi (w. 1274 M). Hanya saja, ajaran-ajaran Ibn Arabi tentang realitas
bisa memberi pemaknaan ke arah itu.
Pada perkembangan selanjutnya di tanah air, lewat Ibrahim Al-Jilli (1365-
1409 M), gagasan wahdah al-wujûd ini menjadi sebuah teori besar tantang
proses penciptaan semesta yang ditelorkan oleh Hamzah Fansuri (w. 1590 M)
dan Syamsuddin Sumatrani (w. 1630 M), dua tokoh sufi Aceh, dengan istilah
martabat tujuh ’: ahadiyah, wahdah, wahidiyah, alam arwah, alam mitsal, alam
ajsam, dan insan;2
 suatu konsep metafi sika sufi yang kemudian ditentang oleh Nuruddin Al-Raniry (w. 1658 M).
Secara historis, tampak ada pergeseran atau perkembangan pada sistem pemikiran
Ibn Arabi . Awalnya ia cenderung Aristotelian ketika menyatakan bahwa eksistensi
adalah patokan segala sesuatu, kemudian berubah menjadi Platonis ketika
menyatakan bahwa wujud yang sebenarnya bukan pada sesuatu yang tampak
nyata dan konkret ini tetapi pada yang transenden dan itu hanya satu, yakni
Tuhan. Terakhir, berubah lagi menjadi paduan antara Platonis dan Aristotelian,
yakni bahwa realitas adalah perpaduan antara yang transenden dan yang nyata
(wahdah al-wujûd ), meski dengan pemikiran yang khas Ibn Arabi.
Pemikiran kesatuan realitas (wahdah al-wujûd ) adalah gagasan orisinal Ibn
Arabi , meski dasar-dasarnya ini diambil dari berbagai “sumber”, antara lain,
pemikiran ittihâd (penyatuan manusia dengan Tuhan) Al-Hallaj. Dibanding
pemikiran Al-Hallaj sendiri juga ada perbedaan: (1) dalam teori Al-Hallaj,
persoalan yang ditekankan hanya soal hubungan antara Tuhan (al-Lâhût)
dan manusia (al-Nâsût), bahwa sifat kemanusiaan hadir pada Tuhan dan sifat
ketuhanan hadir pada manusia, sedangkan dalam teori Ibn Arabi menjadi lebih
luas, yakni hubungan antara Tuhan (al-Haqq) dan semesta (al-makhlûq); (2)
dalam teori Al-Hallaj masih ada dualisme manusia dan Tuhan, dalam Ibn Arabi
dualisme tersebut lebur, kecuali dualisme semu, nisbi, yang ada hanya keesaan
realitas, yakni keesaan dengan dua wajah seperti satu mata uang, meski dua
realitas tersebut tetap berbeda dan tidak sederajat.49
Konsep wahdah al-wujûd Ibn Arabi ini selangkah lebih berani dibanding
gagasan emanasi Al-Farabi atau yang lain, karena dalam emanasi masih ada jarak dan perbedaan antara Tuhan dan makhluk, baik dari sisi kualitas maupun
kuantitas; sementara dalam wahdah al-wujûd tidak ada lagi jarak di antara
keduanya. Namun, itu bukan berarti semesta identik dengan Tuhan. Alam tidak
lain hanya perwujudan dari asma-asma-Nya sebagaimana yang diikrarkan dalam
syahadah Lâ ilâha illâ Allâh, yakni pengakuan bahwa makhluk-Nya bukanlah
Tuhan, melainkan keberadaan-Nya juga tidak tersamai oleh selain-Nya sehingga
tidak satu pun wujud yang mandiri dan lepas dari-Nya.
VII . Al-HIKMAH AL-MUTA’ÂLIYAH  
Pemikiran Mulla Sadra (1571-1640 M)
Salah satu tokoh besar Islam Iran yang pemikirannya banyak didiskusikan
dalam masyarakat akademis di Indonesia, khususnya Perguruan Tinggi Islam
seperti UIN, IAIN, dan PTAIN, adalah Mulla Sadra . Posisi Sadri, seperti ditulis Mulyadhi Kartanegara ,1 dinilai sebagai pemikir terbesar paca -Ibn Rusyd (1126–1198 M) karena telah berhasil mensistesiskan tiga aliran besar pemikiran  
Islam, yaitu paripatetik, iluminasionis, dan mistik. Sadra bahkan dikatakan telah
mendirikan mazhab sendiri sebagai konsekuensi sistesisnya yang biasanya disebut
dengan teosofi transenden (al-hikmah al-muta’âliyah), sebuah pemikian yang
terus dikembangkan oleh para pengikutnya, terutama Muhsin Faidh Kasyani
(w. 1680 M) dan Hazin Lahiji (1692–1766 M) pada masa berikutnya. Konsep trancendent theosophy (hikmah uta`aâliyah) Mulla Sadra tersebut,  menurut Jalaluddin Rahmat ,2 dari sisi epistemologis ddasarksan pada tiga insip,: intuisi intelektual, pembuktian rasional, dan syariat sehingga hikmah adalah  
wisdom yang diperoleh lewat pencerahan ruhani, disajikan dalam bentuk dan
argumen-argumen rasional, dan direalisasikan dengan mengikuti aturan syariat.
Sementara itu, dari sisi ontologis, hikmah muta`âliyah didasarkan atas tiga hal,
yaitu prinsip wujud , gradasi wujud , dan gerak substansial.
Jika kebesaran dan orisinalitas pemikiran seseorang diukur berdasarkan
penemuannya tentang prinsip besar yang mendasari realitas semesta, kemampuan
menafsirkannya sehingga benar-benar bermakna, baru dan penting, juga diukur
dari tawaran-tawaran solusi atas persoalan-persoalan yang membingungkan
pikiran manusia, maka Sadra bisa dan harus diterima sebagai seorang pemikir besar
dan orisinal. Ia telah menemukan prinsip keqadiman wujud beserta gradasinya
yang tidak terhingga. Dalam karya besarnya, al-Hikmah al-Muta`âliyah fî al-
Asfâr al-Aqliyah al-Arba`ah, Sadra menguraikan seluruh persoalan fi lsafat Islam,
tentang hakikat Tuhan, hakikat semesta, dan hakikat serta nasib manusia. Karena itu, Max Horten (1874–1945 M) menyatakan, “Syirazi (Sadra) adalah tonggak
sebuah pertumbuhan pemikiran. Ia telah menghasilkan fi lsafat yang sesuai pada
zamannya” (Auf diese Weise gewinnt Schirazi einen Standpangkt. Von dem er die
gesamte zu seiner Zeit geltende Philosophie umgestaltet).37
Salah satu yang penting dan menarik dari Sadra adalah pandangannya
tentang gerak substansi (al-harakah al-jauhariyah) yang berbicara tentang
terjadinya perubahan tingkat wujud semesta. Berbeda dengan pandangan
fi losof sebelumnya yang menganggap spesies sebagai sesuatu yang tetap, dalam
pandangan Sadra justru terjadi perubahan terus-menerus sehingga sebuah batu
dimungkinkan menjadi tanaman, tenaman menjadi hewan dan seterusnya yang
sekarang dikenal sebagai teori evolusionisme. Akan tetapi, berbeda dengan
evolusionisme materialistik, gerak evolosioner Sadra tidak menunjuk pada
perubahan-perubahan material bersifat acak yang terseleksi alam sebagaimana
dalam teori Darwin (1809–1882 M), tetapi merupakan perubahan substantif
menuju tingkat wujud yang lebih tinggi karena tarikan Wujud Tertinggi, Sang
Pencipta. Dalam bahasa fi losofi s kontemporer, evolusioner Sadra dianggap
sebagai pandangan teologis yang mengikuti asas fi nalisme.Secara umum, dalam
kaitannya dengan pemikiran modern, pandangan Sadra serasi dengan pandangan
holisme, salah satu kutub dari intelektualisme postmo. Hanya saja, identifi kasi
Realitas dengan Kesadaran dalam wacana holistik postmo justru lebih cocok
dengan perenialisme Suhrawardi (1153–1191 M). Meski demikian, sebagai
varian fi lsafat perenial, fi lsafat Sadra kiranya bisa digunakan sebagai penangkal
nihilisme postmo yang bukan saja meniadakan esensi melainkan juga meniadakan
eksistensi melalui proses dekonstruksi destruktifnya.ar.

Bab III : Pada bab ini Khudori Soleh menjelaskan tentang : Bagian III
Epistemologi uraiannya sebagai berikut.
I . EPISTEMOLOGI BAYANI 
Penalaran Berdasarkan Teks
Bayani adalah metode pemikiran khas Arab yang menekankan otoritas teks
(nash), secara langsung atau tidak langsung, dan dijustifi kasi oleh akal kebahasaan
yang digali lewat inferensi (istidlâl). Secara langsung artinya memahami teks
sebagai pengetahuan jadi dan langsung mengaplikasikannya tanpa perlu
pemikiran; secara tidak langsung berarti memahami teks sebagai pengetahuan
mentah sehingga perlu tafsir dan penalaran. Meski demikian, hal ini tidak berarti
akal atau rasio bisa bebas menentukan makna dan maksudnya, tetapi tetap harus
bersandar pada teks. Dalam bayani, rasio dianggap tidak mampu memberikan
pengetahuan kecuali disandarkan pada teks.1
 Dalam perspektif keagamaan,
sasaran bidik metode bayani adalah aspek eksoterik (syariat).
Berdasarkan uraian di atas, ada beberapa hal yang perlu disampaikan. Pertama,
secara historis, bayani berkembang dari “bawah”, dari sekadar upaya untuk
memisahkan kata-kata Al-Quran dari pengaruh kata-kata asing, menjelaskan
kata-katanya yang sulit sampai menjadi sebuah metode berpikir yang sistematis untuk menggali pengetahuan dan menyampaikannya kepada audiens.
Kedua, sumber pengetahuan bayani, Al-Quran dan sunnah, tidak senantiasa
bersifat pasti (qath`i) tetapi terkadang juga samar (zhanni), bahkan al-sunnah
sendiri bersifat qath`i dan zhanni dari segi materi maupun transmisi teksnya.
Persoalan pokok yang diangkat mencakup dua hal: lafal-makna dan ushûl-furû`.
Segi lafal-makna, bahwa lafal atau kata muncul lebih dahulu dan menentukan
makna yang dimaksud, bahkan juga menentukan sistem berpikir selanjutnya.
Sedang segi ushûl-furû`, bahwa ashl bisa berkedudukan sebagai sumber, sandaran
atau pangkal dari proses penbentukan pengetahuan.
Ketiga, pengetahuan bayani diperoleh lewat dua cara atau tahapan: (1)
berdasarkan susunan redaksi teks yang dikaji secara langsung lewat analisa
lingistik, (2) berdasarkan metode qiyas atau analogi yang dilihat dari salah satu
dari tiga aspek, yaitu hubungan antara ashl dan far`, illat yang ada pada ashl dan
far`, dan kecenderungan yang menyatukan antara ashl dan far`.
Keempat, analogi bayani tidak hanya digunakan untuk menggali
pengetahuan dari teks melainkan juga dipakai untuk memahami realitas-realitas
metafi sik. Pengetahuan dan teori-teori metafi sik-teologis Islam klasik didasarkan
atas metode qiyas bayani ini.
Kelima, karena hanya mendasarkan diri pada teks, pemikiran dan
epistemologi bayani menjadi “terbatas” dan terfokus pada hal-hal yang
bersifat aksidental bukan substansial sehingga kurang bisa dinamis mengikuti
perkembangan sejarah dan sosial masyarakat yang begini cepat. Kenyataannya,
pemikiran Islam saat ini yang banyak didominasi bayani fi qhiyah kurang bisa
merespons dan mengimbangi perkembangan peradaban dunia.
II . EPISTEMOLOGI IRFANI 
(Penalaran Berdasarkan Intuisi)
Epistemologi irfani adalah salah satu model penalaran yang dikenal dalam tradisi
keilmuan Islam, di samping bayani dan burhani. Epistemologi ini dikembangkan
dan digunakan dalam masyarakat sufi , berbeda dengan epistemology burhani yang
dikembangkan oleh para fi losof dan epistemology bayani yang dikembangkan
dan digunakan dalam keilmuan-keilmuan Islam pada umumnya.
Istilah irfân sendiri berasal dari kata dasar bahasa Arab ‘arafa, semakna
dengan makrifat, yang berarti pengetahuan, tetapi berbeda dengan ilmu (`ilm).1
Irfan atau makrifat berkaitan dengan pengetahuan yang diperoleh secara
langsung dari Tuhan (kasyf ) lewat olah ruhani (riyâhlah) yang dilakukan atas
dasar hub (cinta) atau iâadah (kemauan yang kuat), sedangkan ilmu menunjuk
pada pengetahuan yang diperoleh lewat transformasi (naql) atau rasionalitas
(aql). Dalam perspektif Mehdi Hairi Yazdi , pengetahuan irfan inilah yang
disebut sebagai “pengetahuan yang dihadirkan” (ilm hudluri) yang berbeda
dengan pengetahuan rasional yang disebut sebagai “pengetahuan yang dicari”
(ilm muktasab);2
 atau dalam perspektif Henri Bergson , pengetahuan rfaân ini
diistilahkan sebagai “pengetahuan tentang” (knowledge of) sebuah pengetahuan
intuitif yang diperoleh secara langsung, yang berbeda dengan “pengetahuan mengenai” (knowledge about) sebuah pengetahuan diskursif yang diperoleh lewat
perantara, bderaindra ataupun rasio.
Validitas pengetahuan biasanya diuji berdasarkan salah satu dari tiga uji
kebenaran. Pertama, korespondensi, yaitu suatu bentuk uji kebenaran yang
menyatakan bahwa validitas pengetahuan ditentukan oleh kesesuaiannya dengan
realitas (fi delity to objective reality). Menurut teori ini, kebenaran adalah kesesuaian
antara pernyataan dan fakta atau kesesuaian antara pertimbangan (judgment)
dan situasi yang dilukiskan oleh pertimbangan tersebut.52 Kedua, konsistensi
atau keherensi, yaitu sebuah teori yang menyatakan bahwa kebenaran adalah
jika suatu pernyataan konsisten dengan pernyataan-pernyataan lain yang telah
diterima kebenarannya. Pernyataan yang benar adalah pernyataan yang menurut
logika koheren dan konsisten dengan pernyataan-pernyataan lain yang relevan. Bentuk paling sederhana dari teori koherensi memerlukan konsistensi yang
dalam dan formal dalam bentuk sistem yang dipelajari tanpa ada hubungannya
dengan interpretasi dengan dunia luar.53 Ketiga, pragmatik, yaitu sebuah teori
verifi kasi yang menyatakan bahwa kebenaran sebuah pengetahuan berkaitan
dengan kemanfaatan (utility), kemungkinan dikerjakan (workability), atau
memberikan akibat yang memuaskan (satisfactory results). Charles S. Pierce
(1839–1914 M) menyatakan bahwa ujian terbaik untuk kebenaran pengetahuan
adalah pertanyaan: jika ia benar, apakah akibatnya pada tindakan kita dalam
hidup? Bagi kaum pragmatis, suatu ide atau pengetahuan dinilai benar jika ia
dapat dilakukan atau mendatangkan kemanfaatan.54
Pengetahuan irfan tidak didasarkan atas objek eksternal atau runtutan logis,
tetapi dari diri sendiri, tepatnya dari realitas kesadaran diri yang dalam bahasa
tasawuf disebut kasyf . Oleh karena itu, ia tidak dapat diuji berdasarkan validitas
korenspodensi maupun koherensi. Lebih jauh, objeknya tidak lain hanya bersifat
imaterial dan esensial, tetapi sekaligus juga bersifat swaobjektif (self-object-
knowledge) sehingga apa yang disebut sebagai objektivitas objek tidak lain bersifat
analitis dan terwujudkan dalam tindakan mengetahui itu sendiri. Namun, di sisi
lain, dari sifatnya yang neotic dan objektif daekathakikatnya, seperti dikatakan
Mehdi H. Yazdi (1923–1999 M), pengetahuan irfan sesungguhnya juga dapat
dikategorikan dalam kelompok korespondesi, meski tidak memiliki objek
transitif yang aksiden sehingga tidak ada alasan untuk melakukan semacam
transubjektivitas, apalagi mengingkari pengertian objektivitas pengetahuan irfan
semata karena tidak memiliki objek luar.
Metode yang dilakukan untuk menggapai pengetahuan adalah lewat
tahapan-tahapan laku spiritual (riyâdhah), yang dimulai dari taubat sebagai
pensucian diri sampai tawakal, rida, dan seterusnya. Pada puncaknya, yang
bersangkutan akan memperoleh kesadaran diri dan kesadaran akan hal gaib lewat
noetic atau pencerahan atau emanasi. Proses pencerahan dan emanasi inilah yang
menuntun sâlik untuk menemui dan mampu menjelaskan rahasia-rahasia realitas
sehingga tidak tepat jika dikatakan bahwa pengetahuan irfan adalah hasil abstraksi
atau kontemplasi. Abstraksi dan kontemplasi belaka tidak mampu membawa
pada persoalan-persoalan tersebut.
III . EPISTEMOLOGI BURHANI  
Pengetahuan Berdasarkan Prinsip Logika
Berbeda dengan epistemologi bayani yang mendasarkan diri pada teks dan
irfani yang mendasarkan diri pada intuisi atau pengalaman spiritual, burhani
menyandarkan diri pada kekuatan rasio atau akal, yang dilakukan lewat dalil-
dalil logika. Prinsip-prinsip logis inilah yang menjadi acuan sehingga dalil-dalil
agama sekalipun hanya dapat diterima sepanjang sesuai dengan prinsip ini.
Burhani, dengan menggunakan prinsip-prinsip logika dan mengandalkan
kekuatan nalar, telah berjasa mengembangkan pemikiran fi lsafat Islam. Juga
telah membantu perkembangan epistemologi yang lain, seperti bayani yang
dilakukan oleh al-Ghazali (1058-1111 M) lewat al-Mustashfâ fî `ulûm al-fi qh, 36 dan membantu metode irfani seperti yang terjadi pada Ibn Arabi (1165-1240  M) lewat uraiannya tentag wahdat al-wujûd. 37 Ia bahkan telah berjasa sebagai  penopang utama bagi epistemologi berikutnya, isyrâqiyah dan al-hikmah al- 
muta`aliyah. Aristoteles (384-322 SM) sebagai bapak epistemologi burhani pernah menyatakan, burhani bisa menyusun (mengembangkan) metode dan
pemikiran lain tapi ia tidak bisa disusun dari matode dan faktor lain.38
Namun, hal itu bukan berarti burhani benar-benar sempurna tanpa cacat.
Ada beberapa catatan untuk epistemologi ini.
1. Prinsip silogisme burhani yang diambil dari Aristoteles yang lebih
mengutamakan sesuatu yang rasional dan kebenaran yang empiris, secara
tidak langsung berarti telah menyederhanakan dan bahkan membatasi
keberagaman serta keluasan realitas. Kenyataannya, realitas tidak hanya
pada apa yang konkret, yang tertangkap indra, tetapi ada juga realitas
yang di luar itu, seperti jiwa dan konsep mental. Artinya, di sini ada
kebenaran-kebenaran lain yang tidak bisa didekati dengan silogisme,
seperti dikatakan Suhrawardi.
2. Silogisme burhani yang menjadi prinsip utama kerja burhani ternyata
tidak bisa menjelaskan atau menyimpulkan eksistensi empiris di luar
pikiran seperti soal warna, rasa, bau, atau bayangan. Artinya, tidak semua
keadaan atau objek dapat diungkap lewat silogisme sebagaimana kritik
yang disampaikan Suhrawardi dan Leibniz (1646–1716 M).39
3. Prinsip logika burhani yang menyatakan bahwa atribut sesuatu harus
didefi nisikan oleh atribut yang lain akan dapat menggiring pada proses
tanpa akhir, ad infi nitum. Itu berarti tidak akan ada absurditas yang bisa
diketahui sehingga seperti dikritik Suhrawardi, burhani sesungguhnya
tidak memberikan apa-apa, tidak menghasilkan pengetahuan baru.
4. Sejalan dengan no. 3, dengan prinsip bahwa kesimpulan yang khusus
harus dideduksikan dari pernyataan yang umum, maka apa yang disebut
kesimpulan sebenarnya telah tercantum secara implisit pada pernyataan
umum yang disebut premis mayor; jika belum ada, sia-sialah usaha
silogisme tersebut karena sesuatu yang tidak ada tidak akan melahirkan
sesuatu yang baru. Ini termasuk kritik yang di sampaikan Bacon dan
John Stuart Mill pada logika Aristoteles yang dipakai burhani.40
5. Silogisme ternyata telah cenderung menggiring penganutnya pada
cara berpikir hitam putih, benar salah, sebagaimana yang tecermin
dalam pemikiran teologi (ilm al-kalâm) yang menggunakan logika.

Bab IV : Pada bab ini Khudori Soleh menjelaskan tentang Bagian IV.
Etika uraiannya sebagai berikut.
I . IDE-IDE TENTANG ISLAMISASI ILMU 
Pengertian, Sejarah, dan Tanggapan
Islamisasi ilmu telah menjadi tema dan term populer di kalangan intelektual
Muslim, baik di Indonesia maupun di negara-negara lain. Di Amerika, istilah
ini telah menjadi simbol dari sebuah keinginan besar untuk memberi warna
Islam pada berbagai disiplin ilmu. Meski demikian, gagasan ini tetap melahirkan
tanggapan beragam di kalangan intelektual Islam, banyak yang mendukung
dengan berbagai alasan tetapi tidak sedikit juga yang menyikapi secara kritis.
Lahirnya gagasan islamisasi ilmu , rupanya didorong oleh keinginan sebagian
besar ilmuan muslim untuk melepaskan diri dari ketergantungan dan hegemoni
Barat atas masyarakat Islam, disamping semangat untuk mengembalikan kejayaan
Islam dimasa mendatang. Menurut mereka, ketergantungan Islam atas Barat ini
tidak bisa diputus dan kejayaan Islam tidak bisa dicapai, kecuali jika masyarakat
muslim mempunyai paradigma sendiri tentang keilmuannya, yang kemudian mendorongnya untuk melakukan penemuan-penemuan dan menggunakannya
sesuai dengan ajaran Islam.
Namun demikian, gagasan ideal tersebut ternyata tidak secara otomatis
didukung oleh semua pihak. Ada juga pihak-pihak yang tidak setuju dengan
ide Islamisasi di atas. Menurut penulis sendiri, tanpa bermaksud apologis,
islamisasi ilmu adalah sesuatu yang penting, sebab kondisi pemikiran Islam
sendiri telah terbentuk dalam dikotomi ilmu agama-umum, sementara ilmu-
ilmu umum sendiri–dengan prinsip dan nilai-nilainya yang positivistik—tidak
lagi memerhatikan nilai-nilai agama. Hal ini menimbulkan kepribadian ganda
(split) dalam masyarakat dan individu Muslim; beribadah secara Islam tetapi
berpikir dan bertindak secara sekuler. Islamisasi ilmu berguna untuk mengatasi
krisis ini, di samping sebagai ujung tombak dari sebuah peradaban.
Tentang tata kerja islamisasi, tidak cukup hanya pada aspek aksiologi seperti
Fazlur Rahman, atau aspek ontologi dan epistemologinya seperti Al-Attas, tetapi
ketiganya sekaligus; ontologi, epistemology, sekaligus aksiologinya. Sebab,
sebuah ilmu akan tetap bernapaskan sekuler dan “liar” jika tidak didasarkan
pada pandangan dunia yang utuh dan tunggal atau tauhid dalam istilah Naquib
Al-Attas dan Hasan Hanafi . Begitu pula sebuah epistemologi akan tetap bersifat
eksploitatif dan merusak jika tidak didasarkan atas ontologi yang islami. Meski
demikian, bangunan ilmu yang telah islami tidak banyak berarti jika dipegang
orang yang tidak bermoral rusak dan tidak bertanggung jawab. Karena itu, perlu
dibenahi pada aspek aksiologinya.
Dengan demikian, islamisasi ilmu berarti merombak paradigma
keilmuannya sendiri yang terdiri atas aspek ontologis dan epistemologis, dan
membenahi moralitas manusianya sebagai pengguna sebuah hasil keilmuan.
II . ISLAMISASI BAHASA SEBAGAI  
LANGKAH AWAL ISLAMISASI SAINS
Pemikiran Sayid M. Naquib Al-Attas
Salah satu tokoh kunci dalam diskursus Islamisasi sains adalah Syed Muhammad
Naquib Al-Attas . Dialah orang pertama yang secara eksplisit menyatakan dan
“meresmikan” proyek Islamisasi ilmu ketika diadakan Konferensi Pendidikan
Islam Internasional di Makkah, tahun 1977. Ide ini kemudian disempurnakannya
sendiri lewat beberapa buku yang ditulis dan diterbitkan tahun 1978.
Menurutnya, islamisasi bukan sekadar mempertemukan atau menyandingkan
ilmu umum dan ilmu keislaman, melainkan lebih merupakan rekonstruksi
ontologis dan epistemologis ilmu umum yang tidak sesuai dengan nilai Islam agar
sesuai dengan nilai-nilai Islam. Sebab, dari sisi inilah lahir sebuah disiplin ilmu.
Gagasan Naquib ini ternyata mendapat sambutan luar biasa dari para
intelektual Muslim dunia. Sehingga, pada tahun yang sama diadakan Konferensi I
di Swiss, disusul Konferensi II tahun 1983 di Islamabad, Pakistan; Konferensi III
tahun 1984 di Kuala Lumpur, Malaysia; Konferensi IV tahun 1987 di Khortum,
Sudan. Di Amerika, gagasan islamisasi sains Naquib disambut masyarakat Islam
yang dipelopori Ismail Raji Al-Faruqi (1921–1986 M) dengan mendirikan
sebuah perguruan tinggi, Th e International Institute of Islamic Th ought (IIIT), di
Washington DC, tahun 1982.1
Tulisan ini akan mendiskusikan ide-ide Naquib Al-Attas tentang islamisasi
sains di atas yang menurutnya harus dan dapat dimulai dari islamisasi bahasa.
Menurut Naquib, meski pengetahuan bersumber dari Tuhan bukan berarti
pengetahuan hanya bisa dan harus digali dari wahyu. Seperti dikatakan Sardar,44
epistemologi Islam menekankan totalitas pengalaman dan kenyataan, dan tidak
menganjurkan satu cara melainkan banyak cara untuk mempelari objek kajian.
Konsep ilmu mencakup semua bentuk pengetahuan, yang diperoleh lewat
observasi, olah nalar maupun intuisi. Tegasnya, pengetahuan dapat diperoleh
dari wahyu maupun akal, dari observasi maupun intuisi, dari tradisi maupun
spekulasi teoretis. Berbagai cara untuk mengetahui alam dan realitas adalah valid
karena semuanya adalah ‘wahyu’ dan tunduk di bawah sunnah Tuhan. Wahyu-
Nya terdiri atas dua macam, tertulis dan tidak tertulis: yang tertulis adalah Al-
Quran, yang tidak tertulis adalah alam semesta.
Pernyataan Naquib bahwa islamisasi konsep atau teori harus pararel atau
didahului oleh islamisasi bahasa adalah sesuatu yang sangat bagus dan membantu.
Sebab, perubahan bahasa dan islamisasi bahasa dapat memberi pengaruh besar
pada cara pandang dunia seseorang sehingga dapat mengubah keyakinan dan
perilaku yang bersangkutan. Akan tetapi, islamisasi bahasa tentu tidak sama
dengan reislamisasi bahasa. Bahkan, pernyataan Naquib bahwa kita perlu
melakukan reislamisasi bahasa dapat dinilai sebagai kemunduran. Sebab, bahasa-
bahasa atau kata-kata kunci dalam Islam, seperti dikatakan Naquib sendiri,45 telah
selesai sejak abad permulaan Islam. Karena itu, yang diperlukan saat ini bukan
reislamisasi bahasa tetapi aktualisasi bahasa-bahasa Islam. Kita harus menggali
kembali khazanah bahasa keilmuan Islam yang ada, kemudian menambah vocab baru yang belum dikenal yang mencerminkan metafi sika atau pandangan dunia
Islam. Fakultas Humaniora dan Budaya, khususnya Jurusan Bahasa, jelas sangat
berkepentingan dengan persoalan ini. Wallâhu a’lam.
III . ISLAMISASI ILMU-ILMU SOSIAL 
Pemikiran Ismael Raji Al-Faruqi(1921-1986 M)
Salah satu tokoh utama dalam program islamisasi ilmu, khususnya di Amerika,
adalah Ismael Raji Al-Faruqi . Ia bahkan telah menjadi ikon program ini lewat
pendidikan tinggi yang dibangunnya tahun 1981 di Washington DC, yaitu
Th e International Institue of Islamic Th ought (IIIT). Gagasan utamanya dalam
program ini terdiri atas 12 langkah islamisasi ilmu. Tulisan ini mendiskusikan
dan mencermati gagasan islamisasi ilmu Al-Faruqi.
Program islamisasi ilmu Al-Faruqi yang menekankan perombakan total atas
keilmuan sosial modern Barat karena dianggap bersifat Eurosentris, tampak lebih
utuh, jelas, dan teperinci dibanding gagasan islamisasi ilmu yang dilontarkan
pemikir lain. Langkah-langkah islamisasi ilmu yang diberikan dan kritiknya
terhadap realitas pendidikan Islam juga merupakan sumbangan besar dan
bermanfaat bagi perombakan sistem pendidikan Islam. Namun, gagasan ini
bukan tanpa persoalan. Ada beberapa hal yang perlu disampaikan.
1. Ketika Al-Faruqi menyatakan bahwa salah satu tujuan islamisasi ilmu
adalah untuk menentukan relevansi Islam pada setiap bidang ilmu
pengetahuan (tujuan ketiga), muncul pertanyaan, sesungguhnya, Islam
yang harus dibuat relevan dengan pengetahuan atau pengetahuan yang
harus dibuat relevan untuk Islam? Islam secara a priori relevan untuk
segala sesuatu (sâlih li kulli makân wa zamân).
2. Tentang prinsip kesatuan kebenaran dan pengetahuan (prinsip ketiga).
Jika kebenaran dan pengetahuan adalah satu dan sama, mencari
pengetahuan berarti sama dengan mencari kebenaran. Persoalannya,
apakah juga merupakan pencarian kebenaran jika seseorang meneliti
teknik-teknik penyiksaan, atau jika seseorang mencari data baru untuk
menciptakan anthrax (bom kimia) dan senjata pemusnah massal yang
lebih canggih, mengingat bahwa semua itu juga pengetahuan dan
bermanfaat bagi yang menginginkannya?
 Apa yang dianggap sebagai kebenaran dalam pengetahuan, sesungguhnya,
bukan kebenaran yang hakiki (al-haq) sebagaimana yang dipahami Al-
Faruqi. Kebenaran dalam pengetahuan tidak pernah dipakai dalam arti
literelnya tetapi hanya dipakai dalam arti yang sangat terbatas. Tidak
ada kebenaran yang sebenarnya, yang ada hanya beberapa kombinasi
penglihatan atau pengamatan yang menurut pengalaman manusia terjadi
dalam suatu urutan yang terbatas yang keteraturannya tepat sama setiap
waktu, dan diduga dengan cara yang identik akan terjadi pada waktu
yang akan datang dalam urutan terbatas yang sama.43
3. Untuk bagian terbesar abad XX, benar bahwa kriteria objektif telah
memberikan basis epistemologi bagi ilmu-ilmu alam maupun ilmu sosial. Akan tetapi, untuk masa sekarang, adalah kekeliruan jika ilmu-
ilmu sosial dianggap mempunyai banyak kesamaan dengan ilmu-ilmu
kealaman. Nilai-nilai dan objektivitas ilmu sosial telah berubah dan
sangat didominasi oleh tradisi idealis. Tradisi-tradisi ini, seperti dikatakan
Ziauddin Sardar,44 mempunyai a priori: (1) bahwa persepsi ternyata
dibangun oleh kategori-kategori linguistik, sikap-sikap mental dan
interes-interes pribadi pengamat sehingga tidak benar-benar bersifat
netral; (2) kategori-kategori, sesuai term-term mana pengalaman
diorganisasikan, adalah refl eksi dari nilai-nilai dan interes kelompok;
(3) bahwa manusia tidak mengalami realitas sebagai sesuatu yang tak
tertafsirkan, tetapi realitas tersebut dikonstruksi oleh skema konseptual
(istilah Kant: 1724–1804 M), ideologi (Marx: 1818–1883 M), cagar
bahasa (Wittgenstain: 1889–1951 M), atau paradigma (Th omas Khunn:
1922–1996 M). Karena itu, apa sebenarnya yang dimaksud Al-Faruqi
dengan program spiritalisasi Islam pada disiplin-disiplin ilmu yang
dibentuk oleh ideologi, bahasa, dan paradigma masyarakat ini? Islamisasi
ilmu atau justru weternisasi ilmu-ilmu Islam? Tegasnya, islamisasi ilmu
modern atau modernisasi ilmu Islam?
4. Bahwa displin-disiplin ilmu tidak diatur dan diprogram dari langit.
Disiplin ilmu lahir dari matriks suatu pandangan dunia yang khusus,
dan secara hierarkis selalu tersubordinasikan pada pandangan dunia
tersebut. Disiplin-displin ilmu tidak mempunyai eksistensi otonom bagi
dirinya sendiri melainkan berkembang menurut lingkungan historis dan
kultural: yang khusus dan hanya mempunyai makna dalam pandangan
dunia yang melahirkan dan mengevolusikannya. Pembagian ilmu ke
dalam disiplin-disiplin yang ada sekarang adalah manifestasi khas dari
peradaban Barat ketika merumuskan masalah-masalah yang dihadapi.
Sebagai contoh, disiplin tentang orientalisme dikembangkan karena
Barat menganggap Islam sebagai ‘masalah’ untuk dipelajari, dianalisis,
dan dikuasai. Dengan demikian, menerima pembagian disiplin ilmu
menurut epistemologi Barat seperti yang masih dilakukan Al-Faruqi,
sama artinya dengan mensubordinasikan pandangan-dunia Islam pada
peradaban Barat. Artinya, Al-Faruqi masih terjebak pada westernisasi
khazanah Islam daripada islamisasi ilmu.
Bab V : Pada bab ini Khudori Soleh menjelaskan tentang Bagian V
Estetika uraiannya sebagai berikut.
I . SENI SEBAGAI EKSPRESI KREATIF EGO  
Pemikiran Sir M Iqbal (1877 1938 M)
Seni biasanya dimaksudkan untuk menunjuk pada semua perbuatan yang
dilakukan atas dasar dan mengacu pada yang indah.1 Secara umum, ada dua  
pemikiran atau aliran berkaitan dengan seni ini. Pertama, fungsional, yaitu
bahwa seni harus mempunyai fungsi dan tujuan-tujuan tertentu yang umumnya
berkaitan dengan moral. Aliran ini dipelopori oleh, antara lain, Plato (428–347
SM), Aristoteles (384–322 SM), Saint Augustine (354–430 M), Bernard Shaw
(1856–1950 M), dan Sigmund Freud (1856–1939 M). Menurut Freud, mirip
dengan Aristoteles, tujuan seni adalah untuk membebaskan pikiran sang seniman
atau penikmat seni dari ketegangan dengan terpuaskannya keinginan-keinginan
yang tertahan.2
Kedua, ekspresional, yakni suatu pemikiran yang menyatakan bahwa seni
adalah luapan perasaan sehingga ia tidak mempunyai tujuan dan tidak mengejar
tujuan di luar dirinya, kecuali tujuan dalam dirinya sendiri. Slogannya yang
terkenal adalah ‘seni untuk seni’ (l’art pour l’art). Maksudnya, seni bersifat
otonom, mempunyai daerah sendiri dan kelengkapan sendiri, tidak tergantung
pada daerah lain dan tidak dikaitkan atau dinilai oleh yang lain, bahkan oleh
nilai moral sekalipun. Gerakan yang merupakan warisan kaum romantisme ini,
di Prancis dipelopori oleh Flaubert (1821–1880 M) dan Baudelaire (1821–1867 M), di Inggris oleh Oscar Wilde (1854–1900 M), di Rusia oleh Aleksandr
Sergeyevich Pushkin(1799–1837 M), dan di Amerika oleh Edgar Allan Poe
(1809–1849 M).3
Iqbal mempunyai pandangan tersendiri tentang seni dan keindahan, dengan
muatan-muatan vitalitas dan fungsional sehingga menjadi hidup dan penuh.
Ada dua teori yang dikenal dalam diskursus estetika, yaitu subjektif dan objektif.
Estetika subjektif adalah suatu pandangan yang menyatakan bahwa apa yang disebut
seni dan keindahan ditentukan oleh pihak penanggap, subjek yang melihat, karena
pengaruh emosi, empati, atau yang lain terhadap sebuah objek. Dengan kata lain,
seperti ditulis George Santayana (1863–1952 M), seni dan indah adalah perasaan
nikmat atau suka dari subjek pada suatu objek yang kemudian menganggapnya
sebagai milik objek. Artinya, apa yang disebut seni dan indah sangat subjektif.37
Teori ini antara lain diberikan oleh Friedrich von Schiller (1759–1805 M), Herbert
Spencer (1820–1903 M), Karl Kraus (1874–1936 M), dan Croce (1866–1952 M). Kebalikannya adalah teori objektif, bahwa seni dan keindahan terletak pada
kualitas objek, yaitu pada tenaga yang hidup di dalamnya lepas dari pengaruh
subjek yang menanggap. Teori ini, antara lain, diberikan Th omas Aquinas
(1225–1274 M) dan Jacques Maritain (1882–1973 M). Menurutnya, keindahan
adalah realitas indah yang ada pada objek yang kemudian memberikan parasaan
enak dan senang pada subjek. Keindahan bersifat objektif.
Menurut Syarif,38 teori estetikaIqbal masuk dalam kategori kedua, objektif,
karena konsep seni dan keindahan didasarkan atas kualitas objek yang tercipta
sebagai hasil ekspresi citra kreatif ego. Untuk memperoleh keindahan, ego
tidak berutang pada jiwa penanggap, subjek, tetapi pada tenaga-kehidupannya
sendiri. Meski demikian, ekspresi-ekspresi ini tidak bersifat liar dan tanpa
tujuan, tetapi harus mengandung makna dan maksud-maksud tertentu, antara
lain untuk membangkitkan semangat vitalitas dan dinamisme kehidupan, juga
dapat memberi petunjuk tentang kehidupan abadi bagi kemanusiaan. Karya seni
yang tidak mengandung nilai dan maksud seperti itu tidak bisa dianggap sebagai
karya seni sejati. Ia tidak lebih dari api yang telah padam. Dengan demikian,
gagasan seni dan keindahan Iqbal tidak hanya bersifat ekspresif tetapi sekaligus
juga fungsional dan vitalistik.
Berkaitan dengan ekspresi ego, ada hal yang patut dipersoalkan. Jika
keindahan dan seni harus merupakan ekspresi kehidupan ego dan hidup itu
sendiri terdapat pada setiap sesuatu, mengapa tidak semua tampak indah?
Mengapa tindakan pembunuh sadis yang merupakan ekspresi egonya tidak lebih
indah dibanding bayi yang sedang tidur? Mengapa cahaya pelangi tampak indah
sedangkan pijar listrik tidak? Mengapa kupu-kupu yang sudah mati sekalipun
tampak indah sedangkan kerbau peliharaan tidak? Sebagaimana disampaikan
Syarif, teori keindahan dan seni Iqbal tidak mampu menjawab pertanyaan-
pertanyaan seperti di atas secara memuaskan. Di sinilah kekurangan Iqbal
sekaligus tugas kita meneruskannya.
II . SENI ISLAM SEBAGAI MANIFESTASI SPIRITUAL 
Pemikiran Sayid Husein Nasr
Seni Islam, menurut Husein Nasr,1
 setidaknya mengandung tiga hal pokok.
Pertama, mencerminkan nilai-nilai religius sehingga tidak ada yang disebut seni
sekuler. Tidak ada dikotomi religius dan sekuler dalam Islam. Apa yang disebut
sebagai kekuatan atau unsur sekuler dalam masyarakat Islam selalu memiliki
pengertian religius seperti halnya hukum Ilahi yang secara spesifi k memiliki
unsur-unsur religius. Kedua, menjelaskan kualitas-kualitas spiritual yang bersifat
santun akibat pengaruh nilai-nilai sufi sme. Ketiga, ada hubungan yang halus dan
saling melengkapi antara masjid dan istana, dalam hal perlindungan, penggunaan,
dan fungsi berbagai seni. Karena itu, seni Islam, bagi Nasr, tidak hanya berkaitan
dengan bahan-bahan material yang digunakan tetapi juga unsur kesadaran
religius kolektif yang menjiwai bahan-bahan material tersebut.
Karya seni Islam, bagi Nasr, bukan sekadar karena ia lahir dari seorang Muslim,
melainkan karena ia digali berdasarkan dimensi-dimensi spiritual Islam dan
merefl eksikan prinsip-prinsip tauhid. Inilah ciri khas pemikiran Nasr yang
perenial. Gagasan ini sesungguhnya hampir sama dengan teori seni dan keindahan
Iqbal (1877–1938 M). Bedanya, seni Nasr merupakan ekspresi dimensi spiritual
sedangkan seni Iqbal adalah ekspresi kreatif ego. Namun, lepas dari perbedaan
dan corak pemikirannya, cara pandang Nasr ini merupakan sesuatu yang sangat
positif, bisa digunakan sebagai solusi alternatif atas dampak negatif modernitas
yang ternyata justru menjauhkan manusia dari spiritualitas.36
Meski demikian, konsep seni Nasr juga bukan sekadar ekspresi spiritual,
melainkan juga harus mampu membawa fungsi-fungsi tertentu. Paling tidak,
ada empat fungsi yang harus diemban oleh seni Islam. Oleh karena itu, karya
seni tidak bersifat otonom, mandiri, tetapi harus berkaitan norma dan tujuan
tertentu sehingga tidak ada istilah seni untuk seni atau l’art pour l’art.
Kendati demikian, bukan berarti hal itu tanpa persoalan. Konsep seni Nasr
yang mendasarkan diri dan mengekspresikan kesadaran spiritual keagamaan, pada
aspek formal dapat dan mudah untuk disalahpahami bahwa seni harus dikaitkan
dan dibatasi oleh agama. Jika ini yang terjadi, seperti ditulis Faisal Ismael, seni
akan mengalami beberapa hal, yaitu adanya keterikatan bentuk dan isi dari
seni itu sendiri, adanya ketegangan antara nilai seni yang longgar dengan nilai
agama yang ketat, terbatasnya ruang gerak seni karena dipakai sebagai bagian
dari praktik keagamaan, dan terganggunya kebebasan kreativitas karena adanya
norma-norma agama yang mengatur.37 Jika demikian, seni Islam menjadi sulit
untuk berkembang.

D. PENILAIAN BUKU
Setelah saya membaca Buku Filsafat Ilmu tentang Filsafat Islam Dari Klasik Hingga Kontemporer maka disini saya ingin menyampaikan kepada para pembaca nantinya, apabila ingin membaca buku ini sangat bagus. Dan nilai yang saya berikan yaitu Bintang 5.

E. KRITIK DAN SARAN
Setelah membaca buku ini beberapa hari ada beberapa kelemahan dan kelebihan dalam buku ini. Kelemahan diantaranya adalah ada beberapa kata atau hal yang kurang atau sulit dipahami. Namun, terlepas dari kelemahannya banyak sekali kelebihan dari buku ini. Yait sangat memperluas wawasan kita tentang Filsafat Islam di masa sekarang. Saya sangat menyarankan untuk membaca buku ini dan dipahami secara baik.

F. KESIMPULAN
Jadi, kesimpulan yang dapat saya ambil setelah membaca buku ini adalah bahwa pentingnya kita sebagai muslim atau Islam untuk mempelajari dan mendalami Filsafat agar kita tidak mudah terjerumus kepada hal-hal yang tidak sesuai akidah.
Maka dari itu saya menyarankan kepada para pembaca agar dalam membaca buku ini harus memahami dan mendalami lagi tentang filsafat Islam sehingga, kita sebagai muslim mampu mengamalkan dan mendalami pelajaran dari Buku Filsafat Islam Dari Klasik Hingga Kontemporer. 
Sekian dari saya. Saya mengucapkan banyak terima kasih kepada para pembaca blog saya, semoga dapat mudah memahami dan mendapatkan Ilmu dari Review buku ini. 
Mohon maaf terdapat banyak kekurangan dan kesalahan dalam review ini saya memohon kepada para pembaca dapat memberikan kritik dan saran yang membangun dan menguatkan. Sekian untuk para pembaca.
*** SAMPAI JUMPA DI REVIEW BUKU SELANJUTNYA***

Komentar